Catatan Harian; Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – “Keluarga pejabat tidak boleh dihalangi ikut berjuang. Ikut memajukan bangsa. Asal kompeten”. Begitu respon sejumlah pihak. Kontra narasi atas ide perlunya UU Anti Politik Dinasti.
Narasi itu berusaha mematikan membesarnya isu publik. Atas menyeruaknya ide pentingya UU Anti Politik Dinasti. Melalui pengkaburan spirit dari makna gagasan UU Anti Politik Dinasti.
Politik Dinasti adalah penguasaan institusi publik oleh satu kekerabatan keluarga. Secara terus menerus. Menggunakan pengaruh jabatannya menutup ruang seluas-luasnya kesempatan di luar keluarganya. Sehingga di luar keluarganya tidak bisa mengakses dalam prinsip kesetaraan.
Misalnya jabatan Bupati. Setelah purna dua periode, dilanjutkan oleh istrinya dua periode. Berikutnya dilanjutkan anaknya, dua periode. Dilanjutkan lagi oleh anaknya pada pepriode berikutnya. Begitu seterusnya. Tanpa jeda.
Penguasaan ekonomi maupun jaringan politik keluarga itu begitu kuat. Sehingga tidak bisa memunculkan kepemimpinan alternatif di luar dari keluarga itu.
Bahkan setiap kemunculan kepemimpinan alternatif dihadapi dengan seluruh kekuatan dinasti itu. Termasuk menggunakan jaringan institusi publik yang danai uang rakyat. Untuk memenangkan keluarganya.
Itu contoh saja.
Contoh lagi adalah lebih satu anggota keluarga menjabat dalam lingkup instansi yang sama. Pada masa jabatah yang sama. Seperti dua orang anggota keluarga dalam satu periode jabatan kabinet.
Sementara itu spirit gagasan UU Anti Politik Dinasti adalah menciptakan sistem kontestasi yang adil. Agar satu institusi publik tidak dikuasai secara terpusat pada satu kekerabatan keluarga. Dalam jangka waktu tidak terbatas.
Sebagai contoh adalah polemik wapres terpilih Gibran. Ia mencalonkan wakil presiden ketika ayahnya masih menjabat. Publik mengkhawatirkan, bahkan mencurigai.
Ayahnya, Presiden Jokowi, memanfaatkan sumberdaya jabatan. Untuk memenangkan anaknya. Sehingga kontestasi politik menjadi tidak adil.
Karena belum ada pengaturan, hal itu menjadi polemik belaka.
Untuk menghindarkan kasus serupa, perlu dibuat pengaturan. Keluarga Presiden, Bupati, Walikota, Kepala Desa hingga derajad tertentu. Bisa ikut mencalonkan jabatan serupa setelah satu periode keluarganya meletakkan jabatan.
Pembatasan serupa juga perlu dilakukan terhadap ketua umum parpol. Pembatasan periodisasi jabatan publik masimal dua periode. Juga masa keanggotaan legislatif. Maksimal dua periode.
UU Anti Politik Dinasti bukan melarang anggota pejabat untuk berjuang membangun bangsa. Melainkan pengaturan untuk kontestasi secara adil.
Kenapa UU Anti Politik Dinasti itu penting?.
Pertama, alasan konstitusional. Kedua, kebutuhan faktual.
Konstitusi menekankan “Keadilan Sosial Sosial Bagi Seluruh Rakyat”. Pacasila sila ke 5. Pasal 27 (1) UUD 1945 menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Dinasti politik tanpa pembatasan melabrak prinsip dan ketentuan konstitusi itu. Pemusatan pengelolaan pemerintahan hanya pada satu keluarga.
Secara faktual, kepemimpinan memerlukan penyegaran dan kaderisasi. Agar semua potensi masyarakat tereksplorasi. Untuk secara maksimal turut serta memajukan intansi yang dipimpinnya. Begitupula dalam kepemimpinan daerah dan bangsa.
Pemusatan kepemimpinan daerah/bangsa hanya pada satu keluarga, akan menumpulkan kemampuan bangsa atau daerah itu untuk maju. Tidak banyak lahir kepemimpinan baru. Masyarakatnya hanya menjadi tergantung pada satu dua dinasti politik belaka.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 25-06-2024***