TANGGAMUS — Bukan memberikan klarifikasi terbuka, Kepala Pekon Kuripan, Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus, Ansorudin, justru menuding wartawan membuat berita tanpa dasar terkait dugaan penyimpangan pembangunan pasar desa yang dibiayai dana desa tahun 2021 senilai Rp246,8 juta.
Melalui pesan singkat WhatsApp kepada wartawan, Selasa (28/10/2025), Ansorudin menyebut pemberitaan yang beredar tidak berdasar dan bersumber tidak jelas.
“Jangan asal pemberitaan, bang. Sumber tidak jelas. Di situ ada kesepakatan sama Bumdes, sewa sementara dan mengisi kekosongan. Jangan asal tuduh, yang jual material itu warga Kuripan sendiri,” tulis Ansorudin dalam pesannya.
Namun, alih-alih menjelaskan duduk perkara secara detail, pernyataan Ansorudin justru terkesan menyerang jurnalis, bukan menjawab substansi dugaan penyimpangan dana publik yang menjadi sorotan warga.
Respons yang Keliru dan Tidak Substantif
Sikap reaktif kepala pekon itu dinilai tidak menunjukkan etika komunikasi publik dan minim kesadaran terhadap prinsip transparansi pemerintahan desa.
Padahal, publik menunggu penjelasan yang konkret mengenai penggunaan dana desa untuk proyek pembangunan pasar yang hingga kini tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bangunan pasar yang diresmikan oleh mantan Bupati Tanggamus, Dewi Handajani, pada pertengahan 2022 itu kini tampak mangkrak, berdebu, dan sebagian arealnya dimanfaatkan untuk kegiatan non-pasar.
Sejumlah warga menyebut sebagian lahan bahkan digunakan untuk toko bangunan dan proyek dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disebut tidak memiliki dasar kesepakatan publik.
“Kami hanya ingin tahu kejelasannya. Pasar dibangun pakai uang desa, tapi sekarang malah tidak berfungsi dan sebagian dipakai usaha pribadi,” ujar salah satu warga Kuripan yang enggan disebut namanya.
Dana Publik, Bukan Milik Pribadi
Menurut catatan anggaran, proyek pasar desa Kuripan masuk dalam program pembangunan dan rehabilitasi kios milik desa tahun 2021 dengan nilai mencapai hampir Rp250 juta. Namun hingga 2025, pasar itu belum pernah beroperasi secara optimal, bahkan tidak tercatat jelas sebagai aset aktif desa.













