JAKARTA TIMUR – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejatinya diharapkan membuat anak sekolah sehat, cerdas, dan kuat, justru bikin 20 siswa SDN 01 Gedong, Pasar Rebo, harus antre muntah berjamaah.
Ironisnya, ketika wartawan hendak mencari kebenaran soal nasi kotak maut itu, malah dapat bonus “layanan khusus” berupa dicekik dan dipukul oknum petugas Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Lengkap sudah: anak muntah, wartawan pun megap-megap.
Kapolsek Pasar Rebo, AKP I Wayan Wijaya, mengonfirmasi dua peristiwa absurd ini. “Betul, barusan laporan masuk ke Polsek,” ujarnya singkat, sebagaimana dilansir Wawai News, Rabu 1 Oktober 2025.
Kasus keracunan plus wartawan dianiaya di hari yang sama hanyalah rutinitas warga kota. Polisi kemudian mengantar korban untuk visum, sebab, apa arti kebebasan pers tanpa surat dokter, bukan?
Kronologi bermula ketika 240 kotak MBG dibagikan pagi hari, persis setelah siswa berolahraga. Menu hari itu, mi goreng, telur dadar, capcai wortel, dan stroberi. Kedengarannya sehat, sampai bau mi goreng yang lembek menyeruak lebih mirip sisa sahur tiga hari lalu ketimbang program unggulan pemerintah.
Hasilnya, sekitar 20 siswa mengeluh pusing dan muntah. Guru panik, makanan langsung disetop. Lima siswa sempat dilarikan ke RS, untungnya dipulangkan kembali karena mungkin lebih aman istirahat di rumah daripada dicekoki capcai berminyak.
Wartawan Jadi Korban “Kebijakan Gizi”
Di tengah kekacauan itu, wartawan Munir datang mencari kebenaran. Alih-alih dapat informasi, ia justru kena bogem dari oknum SPPG Gedong 2.
Munir mengaku hanya salah alamat karena ternyata penyedia makanan yang bikin siswa tepar adalah SPPG Gedong 1. Tapi alih-alih diarahkan, Munir malah diusir, dicekik, bahkan dipukul.
“Saya salah tempat, tapi bukan dikasih penjelasan malah dihabisi. Kayak orang nanya alamat rumah makan, dikasih bogem mentah,” kata Munir getir.
Lucunya, usai pegawai SPPG lain menjelaskan secara sopan bahwa penyedia MBG sebenarnya bukan Gedong 2, oknum satpam justru makin beringas. Rupanya di negeri ini, klarifikasi bisa dibayar dengan cekikan.
Program MBG yang mestinya jadi kebanggaan pemerintah berubah jadi drama, siswa muntah, wartawan babak belur, dan publik dibuat geleng-geleng.
Apa gunanya program makan bergizi bila menu yang disajikan malah bikin trauma anak-anak? Dan apa gunanya jargon “transparansi” bila jurnalis yang bertanya justru ditransformasi jadi samsak hidup?
Kini masyarakat hanya bisa berharap: jangan sampai tiap kali pemerintah bicara soal “Makan Bergizi Gratis”, yang terbayang bukan gizi, tapi risiko.***