KOTA BEKASI – Program RW Bekasi Keren dengan dana Rp100 juta per RW di Kota Bekasi memanas. Kali ini giliran Ketua RW 02 Kelurahan Jatibening, Kecamatan Pondokgede, Saiful Anwar, yang angkat suara dengan nada tegas. Ia mendesak Wali Kota Bekasi untuk lebih berhati-hati dan bijak dalam berbicara di ruang publik, terutama terkait narasi dana yang dialokasikan untuk tiap RW.
“Dana itu bukan dana hibah, tapi dana swakelola. Jadi jangan sampai ucapan pejabat justru menyesatkan pemahaman publik,” tegas Saiful dalam keterangannya, Jumat (25/10/2025).
Menurutnya, pernyataan Wali Kota yang menyebut RW jangan “ngentid dana Rp100 juta” adalah bentuk komunikasi publik yang tidak elok dan tidak pantas keluar dari seorang kepala daerah.
“Kami para pengurus RW ini bukan preman dana, kami pelayan masyarakat. Jangan direndahkan dengan diksi yang kasar dan menyesatkan,” ujarnya.
Saiful mengingatkan bahwa dana tersebut diatur dengan jelas melalui Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 23 Tahun 2025, yang menegaskan lima aspek utama penggunaan dana swakelola RW mulai dari perencanaan kegiatan lingkungan hingga pelaporan dan pengawasan.
“Semua sudah ada rambu-rambunya, tinggal dijalankan sesuai mekanisme. Jadi tidak ada ruang untuk stigma negatif,” katanya.
Ia juga menilai Wali Kota seharusnya fokus pada edukasi dan transparansi, bukan membangun narasi yang menimbulkan kegaduhan.
“Kalau pemerintahnya saja gagal menjelaskan, jangan salahkan masyarakat bila muncul prasangka,” sindir Saiful.
Lebih jauh, Saiful menilai gaya komunikasi Wali Kota yang “blak-blakan tanpa filter” justru bisa merusak kepercayaan publik terhadap kebijakan yang sebenarnya baik.
“Pemerintah itu harus jadi teladan, bukan jadi sumber salah paham,” tambahnya.
Pernyataan Saiful muncul di tengah polemik pencairan dana Rp100 juta per RW yang sempat dihubungkan dengan program bank sampah sebagai syarat pencairan.
Di lapangan, banyak pengurus RW menilai syarat itu tidak relevan dan tidak diatur dalam Perwal, sehingga menambah kebingungan di masyarakat.
Kontroversi ini menyoroti lemahnya koordinasi dan komunikasi antara Pemerintah Kota Bekasi dan struktur masyarakat di bawahnya.
Dana yang sejatinya bertujuan memperkuat pemberdayaan lingkungan kini malah menjadi komoditas politik dan bahan sindiran publik.
“Kalau narasinya terus dibiarkan liar, yang rusak bukan hanya reputasi pejabatnya, tapi juga semangat gotong royong di masyarakat,” pungkas Saiful.
Polemik ini seolah menjadi cermin, kebijakan tanpa kejelasan dan komunikasi publik yang sembrono hanya akan melahirkan kegaduhan baru. Di tengah upaya membangun kota yang katanya “cerdas dan kolaboratif”, tampaknya Bekasi justru masih harus belajar satu hal mendasar etika berkomunikasi dari pemimpinnya sendiri.***













