Keempat, konsistensi dengan prinsip “Demokrasi Konstitusional”. UUD 1945 sudah memberi contoh pembatasan masa jabatan presiden. Maksimal dua periode. Jika alasan ini dianggap penting mencegah otoritarianisme pada level nasional, logis ketika prinsip serupa diterapkan pada level partai dan daerah. Masa jabatan gubernur dan bupati/walikota sudah disesuaikan dengan UUD 1945.
Kenapa partai juga perlu dibatasi masa jabatan ketua umumnya?.
Partai merupakan pusat kaderisiasasi sumberdaya kepemimpinan nasional. Prinsip “Demokrasi Konstitusional” harus diterapkan sejak dari level ini. Kekuasaan ketua umum partai yang terlalu lama dapat membuka celah praktik korupsi maupun otoritarianisme.
Kita telaah melalui prinsip: Rule of Law & Equality Before the Law. Pembatasan masa jabatan presiden dalam UUD 1945 mencerminkan prinsip pembatasan kekuasaan (constitutionalism). Penerapannya di level lain (kepala daerah, ketua partai, pejabat publik) bisa dipandang sebagai perwujudan asas kesetaraan dan pencegahan dominasi politik.
Kelima, untuk meningkatkan akuntabilitas. Pemimpin yang (dipaksa) tahu/sadar bahwa masa jabatannya terbatas, cenderung lebih fokus mencapai hasil. Pembatasan masa jabatan memaksa pejabat bekerja lebih baik dalam waktu yang tersedia.
Prinsip itu sejalan teori Principal-Agent. Pejabat publik adalah agent yang diberi mandat oleh rakyat (principal). Jika masa jabatan terbatas, agent akan lebih fokus bekerja secara efisien. Mereka tahu “waktu kontraknya” tidak bisa diperpanjang seenaknya.
Keenam, mencegah korupsi. Lord Acton: sejarawan dan filsuf politik Inggris. Terkenal dengan kutipan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang tanpa mekanisme kontrol, semakin besar pula kemungkinan penyalahgunaan wewenang.
Survei berbagai lembaga menunjukkan tingkat kepercayaan kepada institusi legislatif lebih rendah dibanding rata-rata lembaga negara yang lain. Reformasi DPR-DPRD perlu dilakukan. Salah satunya dengan membatasi masa keanggotaan maksimal dua periode. Begitu pula masa jabata ketua umum parpol. Maksimal juga dua periode.
Pembatasan masa keanggotaan legislatif-ketum parpol-pejabat politik, seharusnya menjadi salah satu bagian dari reformasi lembaga legislatif. Kedua: UU perampasan Aset. Ketiga sistem kontestasi yang inklusif. Saudara sedarah pejabat aktif hingga derajad ketiga, tidak bisa ikut kontestasi politik pada instansi yang sama.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)






