Tiga orde kepemimpinan nasional telah menancapkan kuku dan rekam jejaknya dalam perjalanan sejarah Indonesia. Bsngsa ini seharusnya bisa belajar dari pemimpin-pemimpin seperti Soekarno dan Soeharto ataupun sesudahnya. Lepas dari kelebihan dan kekurangannya, tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan negara dapat bercermin, memetik pelajaran dan mengambil hikmahnya.
Perbedaan pandangan ideologi dan tinjauan strategi dan taktis dalam implementasi pembangunan. Tidak serta merta membuat pilihan kebijakan dan penggunaan kekuasaan yang mempertaruhkan dan beresiko tinggi pada persatuan dan kesatuan bangsa.
Betapapun perselisihan dan konflik yang terjadi, selalu di upayakan dan menjadi prioritas bisa diakhiri dengan mengutamakan keselamatan dan masa depan Indonesia. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI selalu menjadi tolok ukur dan pegangangan, meskpun secara sistem nilai dan tataran praksis belum bisa diimplemenasikan.
Setidaknya kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa tetap terpelihara, dan Pancasila menjadi katalisator sekaligus perekat kebangsaan yang tumbuh di dalamnya. Meskipun perbedaan tak bisa disatukan, setidaknya dapat hidup bersama dan damai sebagai sebuah bangsa yang penuh keragaman.
Sayangnya dan sangat memprihatinkan, legacy Orde Lama dan Orde Baru yang bisa menjadi refleksi serta evaluasi kebangsaan guna meraih kehidupan rakyat yang lebih baik, gagal dimanfaatkan.
Peluang orde reformasi yang setidaknya dapat menjadi babak baru bagi kehidupan negara bangsa yang nasionalis, religius dan demokratis. Tak mampu memenuhi harapan dan keinginan rakyat. Penanggalan kekuasaan tiran yang otoriterian dan diktatorian sulit dilakukan, hingga kini tak terelakan dan terus berjalan. Bahkan jauh lebih buruk lagi.
Apa yang baik pada masa Orde Lama dan Orde baru tak dapat menjadi teladan. Sedangkan apa yang buruk pada Orde Lama dan Orde Baru terus dilanjutkan di orde reformasi. Praktek-praktek KKN pemerintahan bertebaran dimana-mana, perampokan uang negara dalam balutan utang dan investasi telanjang mengeruk sumber daya alam terus dirasakan.
Konflik sosial menjadi menu sehari-hari rakyat hingga dalam keseharian pergaulan di ruang nyata dan media sosial. Rezim kekuasaan semakin represi di tengah-tengah depresi rakyat akibat kenaikan harga sembako dan pajak yang tinggi. Ketidak-idealan yang mulai mengarah dan pantas disebut kebiadaban itu, semuanya terangkai menjadi satu realitas kehidupan rakyat dalam kesengsaraan dan ketertindasan panjang dan tak bertepi.
Pejabat dan aparat negara serta para pemimpin sosial dan keagamaan, semakin abai terhadap amanat penderitaan rakyat. Perilaku kekuasaan semakin arogan mengabaikan Tuhan karena uang dan kedudukan. Rakyatnya pun menganut kebiasaan yang serba permisif. Banyak yang ketakutan dan tak memiliki kesadaran kebangsaan, enggan bersikap kritis dan melakukan perubahan.
Kalau ada yang melakukan perlawanan, pelbagai cara dilakukan untuk mengupayakan penggembosan atau pembusukan. Feonomena menggelikan, saat elit dan irisan kelas pinggiran bersatu dalam persekongkolan jahat, meski hanya sebagian kecil yang terlibat sebagai buzzer, influencer bahkan penikmat dan penjilat kekuasan sekalipun.
Jadilah bangsa ini kemudian secara terstruktur, sistematik dan masif, menjadi bangsa yang tanpa identitas, tanpa keinsyafan dan tujuan. Tanpa ideologi dan dibawah kendali kapitalisme dan komunisme global mewujud oligarki. Nyaman menjadi bangsa yang artifisial nasionalis religius, nasionalis tapi tak mencintai tanah airnya, beragama tapi tanpa spititualitas.
Sepertinya bangsa ini sedang mempersiapkan bunuh diri massal. Lalu apa yang pantas diberi julukan pada bangsa ini?. Pancasila kah?, Kapitalsme kah?, Komunisme kah?. Atau bangsa yang bukan sebagai apa-apa?.
Kita ini sebenarnya bangsa apa?.