JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar akhirnya buka suara sekaligus mengucapkan permohonan maaf terkait potongan video pernyataannya yang sempat bikin heboh jagat maya. Potongan kalimat itu ditafsir sebagian publik seolah merendahkan profesi guru.
“Saya menyadari bahwa potongan pernyataan saya tentang guru menimbulkan tafsir yang kurang tepat dan melukai perasaan sebagian guru. Untuk itu, saya memohon maaf sebesar-besarnya. Tidak ada niat sedikit pun merendahkan profesi guru. Justru saya ingin menegaskan, guru adalah profesi yang sangat mulia,” ujar Menag, Rabu (3/9/2025).
Nasaruddin mengingatkan publik bahwa dirinya juga guru. “Puluhan tahun hidup saya, saya abdikan di ruang kelas, mendidik mahasiswa, menulis, dan membimbing. Saya sangat memahami di balik kemuliaan profesi ini, guru tetap manusia yang membutuhkan kesejahteraan yang layak,” tambahnya.
Menag memaparkan sederet langkah nyata pemerintah bahwa ada 227.147 guru non-PNS tahun ini menerima kenaikan tunjangan profesi. Dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta per bulan.
102 ribu guru ikut Pendidikan Profesi Guru (PPG) tahun ini. Total 206.411 guru menjalani PPG 2025, naik 700% dibanding 2024 yang hanya 29.933. Sebuah “lonjakan” yang dalam bahasa satir bisa dibaca: “ternyata bisa kalau mau.”
52 ribu guru honorer berhasil diangkat menjadi PPPK dalam tiga tahun terakhir. Jumlah ini memang besar, tapi jangan lupa puluhan ribu lain masih tetap bergelut dengan status honorer dan gaji minim.
PPG dan tunjangan profesi tentu langkah penting. Tapi masyarakat tahu, guru selama ini sudah terlalu sering dijadikan bahan janji kampanye, bahan klarifikasi pejabat, atau sekadar dikasih potongan seremonial di Hari Guru.
“Bagi saya, guru bukan hanya pekerjaan, tetapi panggilan jiwa,” ujar Menag menutup pernyataannya. Kalimat indah, penuh filosofi, bahkan mungkin layak ditulis di spanduk peringatan Hari Guru.
Namun, di balik pujian “profesi mulia” itu, guru masih kerap menunggu kepastian gaji, status kepegawaian, dan tunjangan. Di ruang kelas, mereka dituntut mencetak generasi emas; di meja gaji, mereka masih sering dianggap beban anggaran.***