Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 22/09/2025
WAWAINEWS.ID – Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris. Politisi Wanita yang dijuluki “si tangan besi” itu terheran-heran. Ada pemimpin di Asia Tenggara berlama-lama dialog dan ngobrol dengan rakyat.
Berjam-jam. Frekuensinya sering. Seperti sebuah kebiasaan. “Doyan banget dah…”, kata anak-anak Betawi.
Itulah Persiden ke-2 RI, Soeharto. Ia sering temu wicara. Salah satu acaranya Klompencapir. Singkatan: Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa. Semacam “komunits literasi” jika dicari padanannya pada saat sekarang.
Para peternak, petani, pekebun, nelayan, dianjurkan mengikuti penerangan pertanian di radio, TV, atau majalah dan koran. Agar bisa mengikuti perkembangan kemajuan dalam bertani, beternak dan berkebun. Contoh-contoh kemajuan itu kemudian bisa diterapkan di tempatnya masing-masing.
Tidak hanya temu wicara dalam acara Klompencapir. Setiap even hari nasional selalu ada sesi temu wicara. Hari Koperasi, Hari Keluarga Nasional, maupun hari-hari nasional lainnya.
Bahkan mengundang elemen-elemen masyarakat untuk dialog terbuka. Biasanya di Tapos. Proyek peternakannya. Mengundang elemen mahasiswa, pemuda, tokoh masyarakat. Dialog dalam temu wicara.
“Itu sudah diatur”, kata sejumlah pihak. “Setingan”, kata anak-anak jaman sekarang. Termasuk wawancara dengan Hari Anak Nasional 1994, seorang anak menanya: “kenapa presiden hanya satu”. “Penanya itu pasti sudah dikarungin”, kata netizen. Ramai sekali respon netizen soal itu.
Ternyata anak itu diketemukan. Baik-baik saja. Pertanyaan kritis tidak membuat Presiden Soeharto marah. Ia (anak yang diopinikan “dikarungin”) mengisahkan bahwa yang bertemu Presiden itu para pemenang cerdas cermat. Pertanyaan yang menarik diberi kesempatan bertanya dan dialog dengan Presiden. Jadi tidak diatur untuk harus bertanya apa.
Itulah kenapa Presiden Soeharto begitu dekat dan melekat secara emosional di banyak kalangan masyarakat. Dialog itu membawa kenangan tersendiri bagi pelakunya. Bisa berkomunkasi dan menyampaikan aspirasi secara langsung dengan pimpinan tertinggi. Memunculkan perasaan tidak terabaikan oleh pimpinan puncak.
Temu wicara merupakan model komunikasi dua arah. Sedangkan pola komunikasi saat ini cenderung satu arah. Bahkan bisa disetarakan doktrinasi.
Presiden melakukan komunikasi dengan masyarakat melalui live streaming”, pelaku media, broadcasting, podcast, dan lain-lain. Sentuhan humanistiknya tidak terasa. Rakyat merasa sering terabaikan.
Betulkah begitu?. Komunikasi tatap muka (face-to-face) seringkali lebih efektif dalam komunikasi publik dibandingkan metode non tatap muka?. Mari kita lihat dari perspekstif teoritik.
Media Richness Theory (Teori Kekayaan Media) – Daft dan Lengel (1986). Mengungkapkan jika media itu “lebih kaya” (rich). Mampu menyampaikan sinyal non-verbal, isyarat vokal, umpan balik langsung, dan konteks sosial yang lengkap.
Efektif menyampaikan pesan-pesan yang kompleks, ambigu, atau membutuhkan persuasi. Akan tetapi tatap muka merupakan media komunikasi paling kaya. Mencakup seluruh komponen komunikasi: kata‐kata, intonasi, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gestur, kontak mata.
Media Naturalness Theory – Ned Kock. Menyatakan: “manusia secara evolusi lebih terbiasa dengan komunikasi langsung (face-to-face)”. Medium‐medium komunikasi yang menyimpang jauh dari tatap muka (misalnya hanya teks, atau audio tanpa visual) menyebabkan beban kognitif lebih besar. Lebih sulit menyampaikan nuansa. Sering terjadi salah pengertian.
Efek nonverbal & isyarat sosial. Komunikasi tatap muka memungkinkan pengirim dan penerima menggunakan dan merespon isyarat nonverbal (bahasa tubuh, kontak mata, ekspresi wajah, nada suara). Memperkuat pemahaman pesan, kepercayaan, kredibilitas pembicara, dan memungkinkan adaptasi langsung kalau ada respons negatif atau kebingungan.
Efisiensi umpan balik dan klarifikasi langsung. Melalui komunikasi tatap muka, ketidakjelasan bisa diklarifikasi langsung. Jika pendengar tidak jelas memahami pesan, bisa langsung bertanya atau si penyampai bisa segera menjelaskan ulang. Ini memperkecil kesalahan interpretasi dan miskomunikasi. Metode tidak langsung tidak bisa secepat itu dalam memberikan umpan balik langsung.
Kepercayaan & Kredibilitas. Tatap muka sering kali meningkatkan rasa kepercayaan dan kredibilitas. Karena melihat langsung, bagaimana seseorang menyampaikan pesan: bahasa tubuh, integritas, reaksi spontan. Ketulusan dan ketidaktulusannya terekam dengan mudah.
Presiden Prabowo barangkali perlu mengadosi tatap muka secara langsung ini. Model-model temu wicara, ngobrol langsung degan elemen-elemen masyarakat.
Agar perasaan diabaikan (jika ada) yang dirasakan oleh sebagian masyarakat, terjembatani. Dikombinasi dengan pola komunikasi modern melalui media sosial dan media konvensional.
Temu wicara ini tidak harus intensif layaknya Presiden Soeharto. Mungkin 2-3 bulan sekali dialog dengan elemen-elemen masyarakat. Itu sudah cukup untuk membangun kebersamaan dengan berbagai lapisan masyarakat. Termasuk menyelami freekuensi atau gejolak bathin masyarakat.
Bukan berarti adanya tatap muka langsung itu mengurangi respon keresahan publik melalui beragam saluran cepat. Seperti media sosial, maupun holtline pengaduan khusus. Keduanya tetap diperlukan: saluran pengaduan cepat maupun komunikasi tatap muka. Keduanya perlu dikelola secara seimbang.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)