Scroll untuk baca artikel
Opini

Kontra Narasi Terpidana Korupsi

×

Kontra Narasi Terpidana Korupsi

Sebarkan artikel ini
Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

“Semua sudah sesuai prosedur”: menekankan atau mengalohkan fokus pada aspek administratif meski substansi perbuatan melanggar hukum. “Uang itu untuk kepentingan lembaga/sosial”: mengklaim dana digunakan untuk sumbangan, kegiatan sosial, atau organisasi.

“Ada niat baik untuk mengembalikan uang”: menunjukkan penyesalan untuk meringankan hukuman. Sering dilakukan setelah tertangkap. “Itu bagian dari dana operasional rahasia”: menyebut anggaran tidak resmi, yang sulit diaudit, sebagai alasan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Saya tidak ikut menikmati uangnya”: menolak disebut korupsi karena tidak secara langsung memperoleh keuntungan pribadi. “Saya hanya menjadi korban sistem”: menyalahkan budaya korup atau kebijakan organisasi. “Itu keputusan kolektif, bukan keputusan saya sendiri”: membagi tanggung jawab agar tidak menjadi pihak tunggal yang disalahkan.

“Saya difitnah oleh pihak yang iri atau sakit hati”: memainkan narasi konflik pribadi atau politik. “Proyek itu berhasil, tidak ada yang dirugikan”: menjustifikasi korupsi dengan hasil akhir proyek yang berjalan baik. “Saya tidak pernah menerima uang itu, tidak ada bukti transfer ke saya”: fokus pada bukti formal meskipun ada saksi atau uang cash yang disita.

BACA JUGA :  Indonesia dan Peta Politik Timur Tengah

Itulah contoh-contoh narasi dibangun para terpidana korupsi dalam mempengaruhi persesi publik. Agar ia tidak dianggap penjahat oleh publik.

Termasuk mengesankan diri sebagai religius. Melekati dirinya dengan simbol-simbol religi. Peduli terhadap kaum rentan. Sangat dekat dengan Tuhan.

Dalam perspektif Komunikasi Publik, kontra narasi para terpidana korupsi itu sebagai strategi komunikasi defensif memulihkan citra atau menyalahkan institusi hukum.

Proses hukum di Indonesia sangat ketat. Tunduk pada asas Due Process of Law (asas proses hukum yang adil). Menjamin setiap terdakwa mendapatkan proses hukum yang adil, terbuka, dan terukur.

Hak-hak terdakwa dijamin sejak pemeriksaan sampai kasasi. Termasuk hak membela diri, menghadirkan saksi, mengajukan bukti tandingan. Hak itu dijamin Pasal 28D UUD 1945 dan KUHAP.

Tahapan proses hukum di Indonesia bertingkat dan terstruktur. Mulai Pengadilan Negeri (tingkat pertama), Pengadilan Tinggi (banding, Mahkamah Agung (kasasi).

Jika terdapat kekeliruan dalam satu tingkat, tersedia mekanisme korektif pada tingkat berikutnya. Sistem ini didesain memperkecil kemungkinan terjadinya kekeliruan sistematis.

BACA JUGA :  Ilusi Memberhentikan (Memakzulkan) Jokowi dari Jabatan Presiden?

Putusan hakim berdasarkan fakta dan alat bukti. Hakim terikat pada alat bukti yang sah menurut hukum (Pasal 184 KUHAP). Alat bukti itu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Hakim terikat pada bukti formil dan materiil yang teruji di persidangan.

Hakim terikat pada asas independensi dan imparsialitas. Hakim menjalankan tugasnya bebas dari campur tangan siapa pun, termasuk tekanan politik. UU No. 48 Tahun 2009 – Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) mengatur begitu.

Tuduhan bahwa hakim berpihak harus disertai bukti kuat. Tidak boleh dijadikan sasaran opini atau narasi sepihak. Walaupun memang masing sering terbukti adanya mafia perdilan.

Adanya lembaga pengawas dan mekanisme akuntabilitas. Komisi Yudisial (dugaan pelanggaran etika hakim). Ombudsman (maladministrasi). Komnas HAM (pelanggaran HAM). Sistem pengawasan ini menunjukkan proses hukum di Indonesia tidak bisa berjalan sewenang-wenang.

Sistem penegakan hukum yang ketat dan rapi inilah yang didekontruksi melalui kontra opini para terpidana korupsi. Targetnya antara lain:

BACA JUGA :  Kasus Pagar Laut: Kenapa Angkatan Laut?

Membentuk opini publik untuk memperoleh simpati. Tujuannya mempengaruhi persepsi masyarakat agar memandang mereka bukan sebagai pelaku kejahatan. Agar mereka dipersepsikan sebagai korban kriminalisasi atau kesalahan sistem.

Merusak legitimasi Lembaga Hukum. Agar kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, khususnya KPK, kejaksaan, dan pengadilan melemah. Rehabilitasi citra untuk kepentingan masa depan. Membersihkan nama baik dan menjaga modal sosial untuk kembali ke ruang publik atau politik setelah menjalani hukuman.

Menekan Lembaga / Hakim lewat opini. Untuk menimbulkan tekanan psikologis dan sosial kepada aparat hukum yang sedang menangani perkara banding, PK, atau kasus terkait. Menarik simpati komunitas politik / agama / budaya.

Tujuannya agar mendapatkan perlindungan atau pembelaan dari kelompok-kelompok strategis (partai politik, ormas, tokoh agama, dll.).

Publik harus hati-hati untuk tidak menjadi korban narasi para terpidana korusi. Para korutor sudah sepantasnya dihukum seberat-beratnya. Mereka itulah musuh rakyat yang sesungguhnya.

ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)