LAMPUNG — Aroma tak sedap dari dapur akademik Universitas Islam Lampung (Unisla) Kota Metro makin tercium. Dugaan penggelapan dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang sejatinya ditujukan untuk mahasiswa kurang mampu, kini berubah jadi drama sunyi penuh tanda tanya.
Dan, anehnya, sang wasit Kopertais Wilayah XV Kementerian Agama Lampung justru memilih posisi paling aman, diam seribu bahasa.
Padahal, sejumlah bukti kuat mulai dari kwitansi penyerahan dana hingga pengakuan mahasiswa penerima KIP sudah beredar bak kabar di grup WhatsApp alumni, cepat, ramai, dan susah dibantah.
Namun, alih-alih turun tangan, pihak Kopertais seolah sedang menjalani “puasa bicara”, bahkan setelah hampir sepekan dikonfirmasi.
Beberapa mahasiswa yang mencoba mencari keadilan pun justru mengaku mendapat tekanan. Bukan tambahan beasiswa, tapi tekanan mental agar tak banyak bicara. Ironi akademik ala negeri sendiri.
Benteng Integritas yang Retak
Sebagai lembaga koordinatif di bawah Kementerian Agama, Kopertais sejatinya punya tugas mulia, membina, mengawasi, dan menjaga marwah perguruan tinggi Islam swasta. Tapi dalam kasus ini, lembaga tersebut tampak seperti penjaga gerbang yang tertidur di jam dinas.
“Kalau Kopertais diam saja saat ada dugaan penggelapan dana mahasiswa miskin, lalu di mana nilai keislaman dan tanggung jawab moralnya?” sindir salah satu pemerhati pendidikan Islam di Lampung dengan nada getir.
Sikap bungkam ini, menurutnya, bukan sekadar masalah administrasi, tapi soal krisis moral kelembagaan. “Integritas itu tak bisa diajarkan lewat ceramah, tapi lewat keberanian menegakkan kebenaran,” tambahnya.
Program Mulia, Praktik Nista
KIP Kuliah sejatinya dirancang sebagai bentuk kasih sayang negara bagi anak bangsa yang tak mampu. Namun, ketika dana bantuan itu malah berbelok arah entah ke kantong siapa semangat mulia itu berubah jadi bahan lelucon getir.
“Dari ‘Kartu Indonesia Pintar’ jadi ‘Kartu Indonesia Pailit’,” celetuk salah satu mahasiswa dengan nada sarkas. Ia mengaku tak tahu nasib uang bantuan yang seharusnya ia terima penuh.
Lucunya, meski banyak pihak sudah bersuara, hingga berita ini diturunkan Sekretaris Kopertais Wilayah XV Lampung tetap tidak bersuara sama sekali. Barangkali sedang istighfar panjang sebelum menjawab. Atau mungkin menunggu “fatwa keberanian” dari entah siapa.
Integritas kalangan akademik diuji, kini publik menunggu langkah nyata Kopertais. Apakah mereka akan terus duduk manis di kursi pengawasan sambil menatap layar ponsel tanpa membuka pesan konfirmasi?
Ataukah akan bangkit, menegakkan amanah moral dan keagamaan sebagaimana sumpah jabatan yang dulu diucapkan?
Karena diam, dalam kasus ini, bukan lagi emas. Tapi bisa jadi besi berkarat yang mencoreng nama baik pendidikan Islam itu sendiri.
Kalau lembaga pengawas ikut “pura-pura tak tahu”, lalu siapa yang sebenarnya pintar di balik dana Kartu Indonesia Pintar ini?***











