Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Kurikulum Berbasis Cinta, Revolusi Sunyi di Tengah Bisingnya Kebencian

×

Kurikulum Berbasis Cinta, Revolusi Sunyi di Tengah Bisingnya Kebencian

Sebarkan artikel ini
Foto: Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, (foto_dok)
Foto: Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, (foto_dok)

MAKASSAR –Ramainya ujaran kebencian yang tak kenal hari libur, Kementerian Agama RI diam-diam melempar granat perdamaian, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Bukan sekadar kurikulum, tapi semacam upaya “memformat ulang” nalar keagamaan agar lebih hangat, memeluk, dan tidak meledak-ledak di timeline media sosial.

Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang tampak lebih seperti seorang penyair daripada pejabat negara saat peluncuran di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Kamis (24/7/2025), menegaskan bahwa agama seharusnya tidak diajarkan seperti pelajaran bela diri.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Jangan sampai kita mengajarkan agama tapi diam-diam sedang menanamkan kebencian. Ini bukan adu argumen, tapi ajang saling merangkul,” ujar beliau, dengan nada setenang embun pagi.

BACA JUGA :  Wali Kota Bekasi Hadiri Wisuda Sekolah Lansia 2025: Bukti Bahwa Semangat Belajar Tak Bisa Disunat Usia

Agama Tak Lagi Soal Siapa Paling Benar, Tapi Siapa Paling Sayang

Kurikulum ini tak lagi hanya bicara soal hafalan ayat atau ritual formalitas, tapi nilai-nilai cinta, kasih, keberagaman, dan tanggung jawab ekologis ya, termasuk cinta pada bumi, bukan hanya pada sesama alumni pengajian.

Alih-alih menjejali siswa dengan dogma kaku, KBC ingin membentuk manusia berperasaan dan berkeadaban, bukan robot penghafal teks suci yang galak di komentar Facebook.

Tak main-main, Kemenag bahkan telah menyusun panduan kurikulum lengkap dan menyerahkannya ke para guru. Bukan buku biasa, tapi disebut “buku pintar”. Harapannya: guru bukan hanya pintar mengajar, tapi juga cerdas mencinta bukan ke sesama guru, tapi ke seluruh umat manusia.

BACA JUGA :  Proses PTN-BH untuk UIN Jakarta, Ditunda

“Anak-anak kita nanti akan tetap beragama, tapi bisa saling menghargai,” kata Menag.

Kehadiran para Dirjen, rektor PTKIN, Kepala Kanwil, hingga Penasihat Dharma Wanita dalam peluncuran ini menandai bahwa KBC bukan sekadar launching-photo-op, tapi awal dari gerakan nasional pengasuhan kolektif.

Program ini akan menyentuh semua level pendidikan dari taman kanak-kanak sampai mahasiswa semester akhir yang masih galau karena skripsi dan cinta tak berbalas.

Kemenag akan melakukan sosialisasi masif, mulai dari penyesuaian metode ajar hingga mendandani fasilitas sekolah. Karena, mengajarkan cinta tanpa ruang yang nyaman sama saja seperti mengajak berpelukan di tengah badai.

Jika Teologi Tak Bisa Membuatmu Lembut, Cobalah Ulang dari Bab Satu
Menag menutup peluncuran dengan pernyataan yang menggugah:

BACA JUGA :  Menkes Budi Gunadi Jadi Ketua Majelis Wali Amanat ITB

“Teologi ini harus bisa melahirkan logos yang hebat, lalu menjadi habit yang istimewa. Kalau ini terwujud, warna-warna perbedaan tidak akan tampak norak. Kita disatukan oleh satu ikatan primordial: cinta.”

Sebuah kalimat yang bila disadur dalam bahasa milenial, mungkin artinya: “Bro, kalau belajarmu bikin kamu benci orang lain, mungkin kamu salah channel.”

Di zaman ketika debat antar pengguna medsos lebih panas dari sambal setan, KBC hadir sebagai antitesis: menyejukkan, menenangkan, dan kalau perlu menyelamatkan.

Namun tetap, upaya ini layak diapresiasi. Karena siapa tahu, dari kurikulum ini lahir generasi baru yang kalau berbeda keyakinan, cukup saling mendoakan bukan melaporkan.***