Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Rezim Orde Baru (Orba) sering dikaitkan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Menjelang 1998, narasi itu (KKN) digunakan untuk mendelegitimasi Presiden Soeharto. Pada era reformasi, narasi itu dipergencar sebagai instrumen konsolidasi politik.
Banyak pihak menolak fakta: “KKN era reformasi justru lebih buruk”. Penolakan itu didasarkan dalih: “sistem Orba tertutup”. Praktik korupsi tidak tampak dan tidak terungkap.
Sementara era reformasi demokratis. Membuat korupsi lebih banyak terungkap. Dalih ini menimbulkan persepsi: “KKN Orba terburuk sepanjang zaman”. Walau fakta empiris berbeda.
Setelah hampir tiga dekade reformasi, narasi “Orba sebagai rezim KKN” dilindas realitas baru. KKN era reformasi tidak kalah destruktif. Narasi “Orba dan Presiden Soeharto sebagai simbol KKN” tidak akurat lagi. Setidaknya dimentahkan tiga fakta.
Jika dianalisis melalui tiga indikator utama pertumbuhan ekonomi, kesenjangan sosial (Gini Ratio), dan efisiensi investasi (ICOR) terlihat era Presiden Soeharto lebih mampu menekan praktik korupsi dibanding era reformasi.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan konsisten.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa Orba (1968–1997) rata-rata berada di atas 7 persen per tahun. Beberapa tahun mencapai 8–9 persen.
Menurut teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990), pertumbuhan tinggi menuntut alokasi sumber daya yang efisien, stabilitas institusi, dan pengelolaan modal yang produktif. Praktik KKN yang masif seharusnya menurunkan efisiensi dan menghambat pertumbuhan.
Fakta pertumbuhan tetap tinggi menunjukkan dampak KKN relatif terkendali. Negara mampu mengelola sumber daya publik secara efektif.
Kedua, gini ratio: indikator keadilan sosial.
Kesenjangan sosial mencerminkan distribusi sumber daya dan dampak praktik KKN. Data World Bank menunjukkan Gini Ratio Indonesia pada akhir Orba berada di kisaran 0,30–0,32. Relatif rendah dibanding beberapa era reformasi awal.
Dalam kerangka teori keadilan distributif (Rawls, 1971), distribusi yang lebih merata mencerminkan kemampuan negara menekan praktik KKN yang berpotensi memperbesar kesenjangan. Dengan kata lain, Orba lebih efektif menjaga keadilan sosial dibanding era reformasi. Meski sistemnya tertutup.
Ketiga, ICOR dan efisiensi investasi.
ICOR (Incremental Capital Output Ratio) mengukur efisiensi penggunaan modal. Semakin rendah, semakin produktif investasi. Orba dikritik oleh Prof. Sumitro karena kebocoran sekitar 30 persen. ICOR rata-rata selama Orba tetap 4–5. Itu lebih rendah dibanding era reformasi yang menunjukkan ICOR meningkat.
Menurut teori birokrasi publik (Weber, 1922), sistem tertutup dengan pengawasan internal yang disiplin, meski tidak transparan, dapat lebih efektif menekan kebocoran modal. Dibanding sistem demokratis terbuka. Fakta ini menunjukkan Orba relatif lebih mampu menekan praktik KKN.
Jika dianalisis, tudingan “Presiden Soeharto KKN” lebih bersifat politis daripada realitas faktual. Selama krisis ekonomi dan politik 1998, isu KKN dijadikan katalisator menjatuhkan Presiden Soeharto. Tuduhan ini tampak benar kala itu. Menjadi bersifat politis ketika dibandingkan dengan era reformasi.
Setelah Soeharto lengser, isu KKN Orba lebih difungsikan sebagai alat pelarian dari kegagalan kebijakan pemerintah pasca-Orba. Menuding Orba KKN menjadi cara efektif untuk melarikan diri dari kritik terhadap kebijakan pembangunan yang tidak optimal atau masalah birokrasi.
Label “Presiden Soeharto KKN” menjadi terlalu simplistik dan tidak akurat. Meskipun rezim Orba tidak bebas dari praktik korupsi. Bukti empiris menunjukkan dampak KKN dapat dikendalikan pada era Orba. Negara tetap mampu tumbuh secara konsisten. Kesenjangan sosial relatif lebih terkendali.
Ditambah konteks politik 1998 dan pasca-Orba, tudingan KKN terhadap Soeharto lebih banyak berfungsi sebagai alat politik daripada refleksi obyektif. Penilaian sejarah dan praktik korupsi seharusnya berbasis data. Bukan semata persepsi atau hingar-bingar penangkapan koruptor.
Rezim Orba sejak awal komitmen untuk konsisten memberantas korupsi. Tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menyampaikan pidato: pemerintahannya akan membasmi korupsi hingga akar. Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) melalui Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967.
Tahun 1970 dibentuk Komisi Empat (Commission of Four). Melibatkan tokoh senior. Seperti Mohammad Hatta, Wilopo, Hamburan Johannes dan Anwar Tjokroaminoto. Komisi ini menyelidiki penyimpangan di BUMN dan sektor negara.
Dibuat UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menetapkan pidana penjara maksimum seumur hidup dan denda hingga Rp 30 juta. Tahun 1977 juga dibuat Operasi Tertib untuk memberantas penyelunduan dan pungli.
Tudingan “Presiden Soeharto KKN” tampak benar pada saat gerakaan 1998 berlangsung. Setelah hampir tiga dekade reformasi, label itu tidak memiliki justifikasi pembenar lagi.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)













