BANDAR LAMPUNG — Pemerintah Provinsi Lampung resmi “menghilangkan wajah-wajah familiar” dari ruang publik. Dalam langkah yang terbilang berani atau setidaknya cukup jarang diambil pejabat era sekarang Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal mengeluarkan kebijakan pembatasan penggunaan foto pimpinan daerah dalam media luar ruang. Mulai dari baliho, billboard, hingga videotron semuanya harus bebas dari senyum khas pejabat lokal.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Nomor 131 Tahun 2025, menindaklanjuti Surat Edaran Mendagri Nomor 000.9.3.3/6674/SJ, yang menekankan pentingnya netralitas komunikasi publik dan penghapusan potensi pencitraan berkedok pelayanan informasi.
Alih-alih wajah Gubernur, Wakil Gubernur, atau Sekda yang biasanya mendominasi baliho dengan senyum “sudah bekerja”, kini desain komunikasi Pemprov Lampung harus menampilkan logo resmi pemerintah dan substansi informasi.
Tak boleh ada lagi yang memandangi jalan sambil bergumam, “Lho, Pak Gub ganti baju lagi?”
Sebagai gantinya, masyarakat akan disuguhi informasi yang seharusnya memang menjadi fokus sejak awal program prioritas, layanan publik, dan capaian kinerja bukan baju adat atau pose dengan tangan mengepal.
“Tujuannya sederhana, agar komunikasi publik tidak jadi ajang pencitraan, tapi benar-benar menyampaikan substansi,” ujar Kepala Dinas Kominfotik Provinsi Lampung, Ganjar Jationo, dalam pernyataannya.
Menurut Ganjar, langkah ini diambil untuk mengubah cara masyarakat menilai pemerintah bukan dari seberapa besar wajah pejabat terpampang, tapi dari seberapa nyata dampak kebijakan yang dirasakan.
Sudah lama ruang publik dipenuhi wajah-wajah yang sama dari ucapan selamat hari besar nasional, pembukaan festival, hingga sekadar peresmian tempat wudhu. Seakan-akan tanpa wajah pejabat, publik tak bisa membedakan mana program pemerintah dan mana kegiatan RT.
Kini, dengan adanya pembatasan ini, Pemprov Lampung mencoba memutus rantai personifikasi birokrasi di mana satu kebijakan seolah muncul dari seorang figur, bukan dari sistem kerja kolektif.
“Kami ingin masyarakat melihat capaian kinerja, bukan poster wajah,” tegas Ganjar.
Tanpa biaya cetak ulang baliho setiap kali pejabat ganti jas atau potong rambut, diharapkan anggaran publik bisa digunakan lebih bijak. Paling tidak, spanduk Hari Kartini tidak perlu lagi memperlihatkan Pak Gubernur dalam pose menyilangkan tangan.
Publikasi yang berfokus pada isi dan bukan figur dinilai dapat mendorong efisiensi anggaran dan mengurangi potensi konflik kepentingan.
Bahkan lebih jauh lagi, langkah ini membuka ruang bagi masyarakat untuk benar-benar menilai pemerintahan dari data dan hasil kerja, bukan dari kedekatan visual.
Apakah ini awal dari era baru komunikasi birokrasi yang lebih sehat, profesional, dan dewasa? Ataukah ini hanya momen langka sebelum wajah-wajah itu kembali muncul menjelang pemilu? Waktu yang akan menjawab.
Yang jelas, untuk saat ini, ruang publik di Lampung sedikit lebih lega tak lagi sesak oleh senyum setengah paksa dan jargon klise. Kini saatnya memberi tempat lebih luas bagi informasi, bukan personifikasi.***