WAWAINEWS – Dunia memperingati 11 tahun angklung diakui sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh Unesco. Komunitas, seniman budayawan, akademisi, pemerhati, dan pencinta angklung hadir dalam webinar internasional Angklung Heal The World, Sabtu (27/11/2021).
Dalam webinar dengan tema ‘Angklung, The Potential Medium to Increase Cultural and Economic Resilience During the COVID-19’, diselenggarakan secara virtual dari Kota Bandung, nada – nada antusias terdengar dari pembicara internasional yang diundang.
Salah satunya datang dari Prof. Henry Spiller peneliti dari Departement of Music University of California, Davis Amerika Serikat. Dia sudah bertahun – tahun meneliti angklung di Indonesia, tak heran bahasa Indonesianya lumayan fasih.
Menurut Henry, angklung telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jabar sejak era kolonialisme, kapitalisme, dan neoliberalisme. Sebagai orang asing, ia melihat angklung adalah alat musik yang bisa meng-cover semua nada musik dengan nada sunda yang luar biasa indah.
“Mulai dari lagu Indonesia Raya, lagu latih, lagu klasik, sampai global pop musik. Nada diatonik angklung memperkuat masyarakat sunda,” sebut Henry.
Sebagai orang yang mempelajari tokoh angklung, Henry sangat kagum dengan prinsip 5M yang dicetuskan Daeng Soetigna, penemu angklung modern. “5M adalah murah, mudah, menarik, massal, dan mendidik,” jelasnya.
Untuk keberlanjutan warisan tak benda dunia ini, Henry merekomendasikan lima hal penting. Pertama, fokus pada nilai keberlanjutan yakni mencari dan memperluas bahan mentah bambu. Kedua, keberlanjutan nilai sunda yang menjunjung tinggi nilai HAM dan keadilan.
Ketiga, lebih banyak mempromosikan angklung secara massal ketimbang pertunjukan angklung solo. Keempat, dukungan pemerintah dengan membuat kurikulum di sekolah dan melatih para guru. Kelima, memperkuat organisasi mandiri sebagai simbol nilai masyarakat sunda.
*Seperti Saung Angklung Udjo dan Budi Supardiman Angklung Web Institute, harus disupport,” sebut Henry.
Sementara itu, antropolog musik etnis Dr Paphutsorn Koong Wongratanapitak dari Thailand telah lama mengaplikasikan angklung untuk anak dan remaja di dalam tahanan polisi. Melalui terapi angklung, Koong yang juga lama bergelut dengan angklung di Indonesia, membantu anak- anak menemukan kembali jati dirinya dan pada gilirannya nanti siap berbaur dengan masyarakat.
Tujuan dari terapi angklung di tahanan remaja ini adalah untuk memberi rasa percara diri bahwa hidup belum berakhir, sekaligus menunjukkan kepada orang tua potesi anak sebenarnya. “Saatnya orang tua mendengarkan anaknya melalui angklung,” kata Koong.
Selain di rumah tahanan, Koong juga mempergunakan angklung untuk merehabilitasi para lansia agar di usia senja masih merasa bahagia dan berguna dengan keahlian angklung.
Angklung juga ternyata berkembang pesat di Amerika Serikat. Diawali dengan pencatatan rekor dunia permainan angklung terbanyak yang dilakukan di Washington DC pada 2011, komunitas- komunitas angklung terus bermunculan sejak itu.
House of Angklung Washington DC salah satu komunitas yang konsisten mendorong angklung lebih dikenal lagi masyarakat AS. Diawali dengan inisiatif sendiri, dukungan dari Kedutaan Besar dan stakeholders lain kemudian terus bermunculan hingga kini.
House of Angklung juga memiliki program Angklung Goes to School yang terlah berjalan bertahun – tahun dan mendapat respons posistf dari kalangan pendidik di sana.
“Mereka bilang angklung sangat tepat untuk anak kelas 4 dan 5 SD karena sifatnya yang sangat sophisticated. Di Negara Bagian County Mariland angklung sudah masuk daftar kurikulum pendidikan di sana,” sebut Trizia Sumaryanto, conductor Hous of Angklung Washington DC.
Melalui bantuan Kedutaan Besar RI di Amerika, pada 2021 Angklung goes to School diperluas menjadi Angklung goes to America dengan kerja sama organsiasi lokal di sana.
“Bantuan rutin yang diberikan adalah angklung interaktif empat set setiap kelompok, pelatihan, buku pandua, partitur, musik MP3 lagu Indonesia dan Amerika,” sebut Tricia.
Saat ini, kata Tricia, makin banyak orang Amerika Serikat ingin tahu angklung bahkan pada yang originalnya yakni angklung tradisional pentatonik.
Angklung pentatonik merupakan angklung asli yang dikembangkan leluhur dan hanya bisa memainkan lagu Sunda dan Jawa. Oleh almarhum Daeng Soetigna, nada angklung diubah dimodifikasi menjadi diatonik sehingga bisa memainkan dana do – re – mi – fa – so – la si – do.
Angklung diatonik berkembang pesat di Kota Bandung dengan Saung Angklung Udjo (SAU) yang didirikan Udjo Ngalagena ayau yang biasa disebut Mang Udjo. SAU menemukan kejayaannya dengan kunjungan wisatawan 2.000 per hari dan pertunjukan 3-4 kali sehari.
Namun saat pandemi COVID-19 datang, semuanya berubah. SAU nyaris bangkrut karena tidak ada wisatawan yang datang akibat pembatasan aktivitas dan mobilitas.
Dengan tekad kuat dan komitmen semua stakeholders mulai dari pemerintah daerah dan pusat, SAU kini perlahan bangkit. Dalam menemukan kebangkitannya, SAU kembali ke filosofi kebersamaan dengan pola pentaheliks merangkul semua stakeholders.
“Kami sudah mulai lagi mengadakan konser bersama di tujuh ruang, virtual pelatihan, virtual angklung for therapy and for motivation. SAU masih tetap ada dan harus lebih bangkit lagi,” kata Taufik Hidayat Direktur Utama PT Saung Angklung Udjo yang juga anak kesembilan Udjo Ngalagena.
“Keep the old one create the new one,” katanya menuturkan filosofi ayahnya.
Seperti diketahui, 16 November 2010 menjadi tanggal bersejarah bagi dunia dan membanggakan Indonesia, di mana angklung ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, organisasi PBB yang mengurusi kebudayaan.(**)