KOTA BEKASI — Kota Bekasi kembali kehilangan salah satu “ikon hiburan rakyat” setelah Grand Mall resmi menutup pintunya sejak awal tahun 2025. Mal yang dulu jadi tempat nongkrong legendaris warga Bekasi dari anak sekolah yang kabur jam pelajaran sampai bapak-bapak yang pura-pura beli sandal padahal ngadem kini tinggal cerita.
Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, ikut angkat bicara soal fenomena matinya sejumlah mal di wilayahnya. Tapi ia menolak menyalahkan daya beli masyarakat.
Menurutnya, biang keladi bukan ekonomi, melainkan kurangnya inovasi dan daya adaptasi pengelola mal yang masih hidup di zaman “disco lampu neon”, padahal dunia sudah masuk era TikTok mall experience.
“Bukan sekadar karena ekonomi dan daya beli. Tapi mal nya juga harus berbenah diri,” kata Tri di kantornya, Senin (13/10/2025).
Dikatakan bahwa sekarang orang banyak pilihan, mal harus bisa menyesuaikan style dan kenyamanan.
Tri menegaskan, pengelola mal mesti keluar dari pola pikir lama yang mengandalkan AC dingin, food court, dan musik dangdut dari speaker bocor menuju konsep yang lebih relevan dengan tren zaman experience, entertainment, dan selfie corner.
“Harus ada inovasi yang dimunculkan agar mal tetap hidup,” katanya, seolah ingin bilang bahwa pengelola mal perlu berhenti hidup di tahun 2003.
Era Kejayaan Telah Lewat
Grand Mall Bekasi dulu adalah jantungnya gaya hidup rakyat Bekasi. Dari “nonton bareng gebetan” di bioskop, beli sepatu KW di lantai tiga, sampai karaoke semalam suntuk pakai voucher promo semua pernah hidup di sini.
Kini, gedung megah lima lantai di Jalan Jenderal Sudirman itu sunyi, lampu padam, dan lift nya mungkin lebih sering dinaiki cicak ketimbang pengunjung.
Penutupan mal diumumkan manajemen sejak 1 Januari 2025, dengan alasan “penyesuaian operasional.” Bahasa halus dari “sudah sepi, sudah rugi.”
“Untuk area mal dan ritel sudah tutup sementara sesuai keputusan manajemen. Tenant sudah nggak ada yang buka,” ujar Sufala Handri, Senior Head Marketing Grand Mall Bekasi, pada Jumat (10/10/2025).
Kata “sementara” di sini bisa jadi lebih lama dari hubungan LDR karena hingga kini, tak ada tanda-tanda buka kembali.
Nasib serupa menimpa Borobudur Plaza, mal senior lain di Kota Bekasi. Menurut warga sekitar, Safrizal (50), mal itu hanya buka menjelang Idul Fitri mungkin karena satu-satunya waktu orang masih ingat tempat itu eksis.
“Kalau buka setiap hari sih udah enggak ya. Paling kalau Lebaran, baru buka,” ujarnya.
Sejak pandemi, Borobudur Plaza seperti rumah kosong berpendingin udara. Papan nama masih berdiri, tapi isinya tinggal gema nostalgia dan debu rindu.
Kini, Kota Bekasi punya banyak mal megah tapi banyak juga yang megap-megap. Dari Grand Mall yang pamit pelan-pelan, Borobudur yang buka musiman, sampai Blue Plaza yang setia tapi makin sepi.
Sementara itu, masyarakat urban lebih memilih nongkrong di coffee shop Instagramable, belanja di e-commerce, atau cuci mata di mall digital bernama Tokopedia.
Wali Kota Tri Adhianto mengingatkan bahwa masa depan mal tidak akan ditentukan oleh ukuran gedung, tapi oleh kemampuan membaca selera zaman.
Karena di era digital ini, mal tanpa inovasi hanyalah bangunan ber-AC yang menunggu disewakan untuk event pensi.
Meski Grand Mall Bekasi telah tutup, kenangannya masih hidup di hati warga. Tempat di mana anak muda dulu nongkrong sambil nunggu nonton, ibu-ibu tawar baju sampai separuh harga, dan bapak-bapak cari ATM padahal cuma pengin merokok di luar.
Kini, tinggal pertanyaan menggantung di udara Bekasi yang panas. Akankah Grand Mall dibuka lagi dengan wajah baru atau berubah jadi apartemen “city view” yang tetap macet di bawahnya?.***