Sistem MPR melibatkan rakyat dalam menentukan tujuan dan arah kehidupan bangsa. Melalui peranannya merumuskan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
Tujuan dan arah itu yang harus dijalankan oleh Presiden dan jajaran eksekutif untuk diwujudkan. Di sinilah esensi kepemimpinan rakyat itu. Melalui wakilnya yang dipilih, rakyat menentukan masa depannya sendiri. Maka Presiden disebut Mandataris MPR (dalam UUD 1945 asli).
Apa bedanya dengan amandemen?. Ialah, rakyat disuruh memilih wakil-wakilnya. Memilih presidennya. Akan tetapi tidak dilibatkan untuk merumuskan arah dan kebijakan negara (GBHN).
Peran dan fungsi ini dihapus dalam MPR. GBHN juga dihapus. Kebijakan dan program pembangunan didasarkan visi-misi presiden terpilih.
MPR (dalam UUD 1945 asli) terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, Utusan Golongan. Merupakan represenasi keseluruhan multikulturalisme Nusantara.
Anggota DPR direkruit melalui kontenstasi bebas. Mewakili kepentingan pragmatis politis. Orang-orang yang mahir menjajakan diri dalam kontestasi bebas akan terpilih.
Umumnya dikendalikan oleh idiologi pragmatis kepartaian. Lebih tunduk pada agenda partai dibanding aspirasi bebas masyarakat.
Keberadaan elemen pragmatis-politis ini diimbangi Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Menjadi satu tubuh dalam MPR. Bersama-sama menyusun arah dan tujuan bangsa dalam bentuk GBHN. Itulah yang dimaksud kepemimpinan rakyat. Sebagaimana amanat sila 4 Pancasila.
Utusan Golongan merupakan representasi “kearifan tertinggi” dari rakyat Indonesia. Meliputi sumber daya kepakaran (perguruan tinggi), adat-istiadat (keraton-kasultanan), ormas (tokoh-tokoh agama), ketokohan profesi. Dilibatkan dalam turut merumuskan arah dan tujuan kebijakan negara. Melalui wadah Utusan Golongan.
Kelompok Utusan Golongan dan Utusan Daerah ini merupakan pengimbang pragmatisme politis anggota DPR. Sekaligus pemimpin “hikmat kebijaksanaan” sebagaimana amanat sila ke 4. Untuk mendapatkan kearifan tertinggi dalam rumusan arah dan tujuan kebijakan negara melalui GBHN.
Reformasi (amandemen) telah meniadakan “kepemimpinan hikmat kebijaksanaan” sebagai amanat sila ke 4 Pancasila. Utusan Golongan dihapus.
Suku Badui atau Tengger, secara kuantitatif tidak mungkin meloloskan wakilnya di senayan melalui kontestasi bebas. Kalah suara.
Utusan Daerah (DPD) juga direkrut melalui kontestasi bebas dengan mengabaikan substansinya. Representasi suara batin daerah. DPD Jakarta belum tentu mewakili suara batin masyarakat Betawi. Politisi dari daerah antah berantah mengisinya. Begitu pula daerah-daerah lain. Saluran multikultarlisme Nusantara terpenggal pada era reformasi.
Walaupun harus kontestasi bebas, DPD seharusnya direkruit dengan persyaratan ketat. Benar-benar represetasi masyarakat daerah itu. DPD Bali harus mewakili masyarakat Bali, Sumatera Barat mewakili Sumatera Barat, dan seterusnya.
Tanpa disadari, penghapusan “Sistem MPR”, mengantarkan Indonesia pada proses “Aboriginisasi atau Indianisasi”. Masyarakat-masyarakat adat dipenggal dari keterlibatanNya merumuskan arah dan kebijakan negara. Mereka tidak lagi merumuskan GBHN. Arah dan tujuan masa depan bangsanya sendiri. ***