Scroll untuk baca artikel
Lampung

Malam Panik di Sribasuki! Ketika Angin Menyapu, Pemerintah Menjemput

×

Malam Panik di Sribasuki! Ketika Angin Menyapu, Pemerintah Menjemput

Sebarkan artikel ini
Angin kencang memporak-porandakan sedikitnya 24 rumah warga, beberapa rusak berat, lainnya kehilangan bagian atap dan dinding. Pohon tumbang menutup jalan desa, kabel listrik sempat terputus, dan lampu padam total hingga dini hari.

LAMPUNG TIMUR — Angin itu datang tanpa aba-aba. Sekitar pukul tujuh malam, hujan yang semula gerimis berubah menjadi deras, disertai suara menderu yang menakutkan. Di Desa Sribasuki, Kecamatan Batanghari, dan dua desa di Kecamatan Batanghari Nuban, Sukacari dan Gunung Tiga, warga berhamburan keluar rumah, sebagian menjerit sambil memeluk anak-anak kecil.

“Langit seperti bergemuruh, lalu suara ‘bruk-bruk-bruk’ dari atap,” kata M. Selamet, warga Dusun Pagerwojo, mengenang detik-detik itu. Rumahnya yang sederhana kini kehilangan separuh atap. Genteng berserakan, dinding dapur roboh sebagian. “Kami tak sempat menyelamatkan apa pun. Hanya pakaian di badan,” ujarnya, menunduk.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Tak ada korban jiwa, tapi malam itu menyisakan kepanikan. Angin kencang memporak-porandakan sedikitnya 24 rumah warga, beberapa rusak berat, lainnya kehilangan bagian atap dan dinding. Pohon tumbang menutup jalan desa, kabel listrik sempat terputus, dan lampu padam total hingga dini hari.

Begitu kabar masuk, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Timur langsung bergerak. Tim turun sejak malam, membawa peralatan penerangan dan logistik seadanya. Pagi harinya, kendaraan operasional BPBD sudah parkir di depan balai desa Sribasuki.

“Kami bergerak cepat setelah laporan masuk. Malam itu juga kami koordinasikan dengan perangkat desa dan langsung turun ke lapangan,” ujar Indra Gunawan, Sekretaris BPBD Lampung Timur, saat ditemui di lokasi, Selasa (11/11/2025).

BACA JUGA :  Polis Akan Periksa Pihak Bank Waway Lampung

Indra memimpin langsung pendataan rumah terdampak dan penyaluran bantuan darurat berupa beras, air mineral, dan bahan makanan cepat saji. “Bantuan ini tidak banyak, tapi kami pastikan disalurkan secepatnya agar warga tidak kekurangan kebutuhan dasar,” katanya.

Ia menambahkan, Bupati Ela Siti Nuryamah memantau langsung dari pusat komando dan menginstruksikan agar semua kebutuhan warga terdampak diprioritaskan dalam waktu 24 jam pertama.

“Bu Bupati menekankan, kita tidak boleh tunggu acara seremonial. Begitu ada bencana, yang dibutuhkan warga adalah kehadiran dan tindakan cepat,” ujar Indra.

Di tengah halaman rumahnya yang becek, Rukmini (47) tampak sibuk menjemur kasur yang basah kuyup. “Angin datang kayak marah,” katanya pelan. “Kami cuma bisa baca doa. Genteng beterbangan, air masuk sampai ruang tengah.”

Rukmini tak sendiri. Di sebelahnya, beberapa warga bergotong royong menegakkan kembali tiang bambu yang patah. Anak-anak berlari di antara sisa daun pisang dan serpihan seng. Mereka tertawa mungkin belum benar-benar paham bahwa yang mereka injak adalah puing rumah mereka sendiri.

Bagi sebagian besar warga, bencana sudah menjadi bagian dari siklus musim. Setiap kali pancaroba datang, rasa waswas pun ikut hidup. “Tapi yang ini beda,” kata Suyono, Ketua RT di Dusun Pagerwojo. “Anginnya kencang sekali, seperti menyapu kampung.”

Satu hal yang terasa berbeda kali ini adalah kecepatan respon pemerintah daerah. Dalam waktu kurang dari 12 jam setelah kejadian, bantuan darurat sudah diterima warga. Tak ada panggung serah terima, tak ada kamera berjajar.

BACA JUGA :  Janji di Musim Pileg, Janji Hilang di Musim Panen: Cerita Alat Berat yang “Berpindah Tangan” di Lampung Timur

“Yang datang langsung tim lapangan. Mereka bantu bersihkan puing, bantu pasang terpal,” kata Suyono. “Itu yang kami butuhkan.”

BPBD Lampung Timur juga mulai memetakan langkah pemulihan jangka pendek, termasuk koordinasi dengan dinas perumahan untuk menilai tingkat kerusakan dan menyalurkan bantuan material. “Kami fokus agar rumah-rumah bisa segera ditempati kembali,” jelas Indra Gunawan.

Di posko sementara yang didirikan di balai desa, warga saling berbagi cerita dan makanan. Dari dapur umum kecil, aroma nasi hangat bercampur dengan wangi kopi sachet yang diseduh bergantian. Dalam bencana, solidaritas terasa paling nyata.

Meski tidak turun langsung malam itu, Bupati Ela Siti Nuryamah disebut aktif memantau perkembangan melalui jalur cepat BPBD. Ia menginstruksikan agar laporan masuk dalam hitungan jam, bukan hari.

“Bupati menegaskan agar seluruh aparatur bergerak di lapangan, bukan di meja rapat,” kata Indra. “Beliau ingin Lampung Timur punya pola respon yang cepat dan tepat, tanpa birokrasi yang berbelit.”

Kebijakan itu mulai terlihat hasilnya. Dalam beberapa tahun terakhir, BPBD Lampung Timur mulai memperkuat sistem pelaporan bencana dengan Call Center 112, layanan darurat bebas pulsa yang terhubung langsung ke posko kabupaten. Warga kini bisa melapor cukup dengan panggilan telepon, tanpa perlu menunggu perangkat desa berkoordinasi ke tingkat kecamatan.

BACA JUGA :  Permainan Boneka Capit Marak di Lampung Timur, Ketua MUI: Kami Segera Rapatkan

“Kadang satu menit lebih berarti dari seribu kata laporan,” ujar Indra singkat.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya memang telah memprediksi peningkatan potensi cuaca ekstrem di wilayah Lampung bagian timur sepanjang November. Pergeseran angin dan peningkatan suhu muka laut menyebabkan potensi pembentukan awan cumulonimbus lebih sering terjadi.

Bagi warga Sribasuki dan sekitarnya, peringatan itu kini bukan sekadar angka prakiraan. “Kami jadi lebih hati-hati,” kata Rukmini. “Kalau langit mulai gelap dan angin besar, kami sudah siap-siap.”

Pemerintah daerah mengimbau masyarakat agar tidak panik, tetapi tetap waspada. Laporan cepat bisa menyelamatkan banyak hal, bahkan nyawa. “Kami berharap masyarakat tak ragu menghubungi Call Center 112 kalau ada kejadian darurat,” tegas Indra.

Menjelang sore, matahari kembali menembus sela awan di langit Batanghari. Di halaman rumah M. Selamet, warga ramai menjemur pakaian dan memperbaiki atap seng. Beberapa relawan dari desa tetangga datang membantu. Suara palu dan tawa anak-anak terdengar bersahutan.

“Yang penting masih hidup,” kata Selamet tersenyum. “Atap bisa diperbaiki, semangat jangan sampai hilang.”

Bencana sering datang tanpa undangan. Tapi dari setiap musibah, Lampung Timur tampak belajar: bahwa yang paling cepat menyembuhkan bukan bantuan besar, melainkan kehadiran yang tulus dan tanggap. ***