LAMPUNG TIMUR — Konflik ketenagakerjaan di PT Pesona Sawit Makmur 2 (PSM 2) kian menggelinding bak bola liar yang kehilangan rem. Alih-alih mereda, masalah ini justru membuka wajah buram tata kelola ketenagakerjaan di pabrik pengolahan sawit di Desa Gunung Agung, Sekudik, Lampung Timur.
Mulai dari serikat pekerja tak jelas asal-usulnya, potongan upah tanpa dasar, hingga pejabat dinas tenaga kerja yang tampak lebih sibuk tidak tahu apa-apa dibanding menjalankan tugas pengawasan alias sengaja mendiamkan?.
F-SPSI NIBA Sekudik telah melayangkan protes keras terhadap penunjukan Serikat Buruh Bongkar Muat (SBBM) Abadi Jaya Sejahtera serikat yang disebut tak memiliki alamat, tak terdaftar di Disnaker, namun entah bagaimana bisa menikmati potongan upah buruh hingga 6 rupiah. SPSI Niba pun bertanya-tanya: Ini serikat atau perusahaan fintech ilegal?
Dalam beberapa kali konfirmasi, Viktor, Manajer PSM 2, menyampaikan pernyataan yang berubah-ubah. Ketika ditanya siapa yang menunjuk SBBM, jawabannya selalu sama:“Itu urusan pihak ketiga.”
Sayangnya, ia tidak pernah menjelaskan pihak ketiga itu siapa sebuah jawaban klise yang biasanya muncul ketika seseorang ingin mengaku tak tahu apa-apa tanpa benar-benar terlihat tidak tahu apa-apa.
Di sisi lain, Ketua SBBM, Angga Brawijaya, justru mengaku terang-terangan bahwa mereka ditunjuk langsung oleh perusahaan. Kontradiksi ini membuat publik bertanya: siapa sebenarnya yang bekerja di perusahaan manajernya, atau serikat yang tidak terdaftar itu?
Masalah ini memperkuat dugaan adanya kekacauan internal dalam pengelolaan tenaga kerja outsourcing maupun kemitraan bongkar muat di PSM 2.
F-SPSI NIBA menemukan adanya potongan Rp6 per kilogram kepada buruh bongkar muat yang kabarnya masuk ke kas SBBM. Masalah makin pelik ketika dua orang yang diklaim anggota serikat tertangkap warga saat diduga melakukan pungutan liar kepada truk.
Serikat kemudian mengeluarkan surat klarifikasi bermaterai, sebuah langkah yang sayangnya justru mempertegas bahwa operasional mereka memang tidak beres sejak awal.
Para buruh mengeluhkan bahwa mereka bekerja tanpa jaminan keselamatan, tanpa perlindungan apa pun jika kecelakaan terjadi. Legalitas serikat tak jelas, tanggung jawab perusahaan tak jelas, perlindungan pemerintah daerah pun tak tampak.
Pendek kata: yang jelas hanya kerugian buruh.
ironis ketika diberi tahu soal dugaan pelanggaran ini, Miswanto, Kabid Hubungan Industrial Disnaker Lampung Timur, memberikan jawaban yang tak kalah mencengangkan:
- Ia belum membaca pemberitaan yang dikirim langsung ke ponsel pribadinya.
- Ia belum mendapat instruksi kepala dinas.
- Ia belum tahu apa-apa.
Di tengah isu ketenagakerjaan sebesar ini, Disnaker justru terdengar seperti kantor pos yang tidak pernah menerima surat. padahal pihak SPSI Niba telah melaporkan resmi dan telah di BAP oleh sang Miswanto.
SPSI NIIBA Sekudik menyebut respons ini sebagai indikasi bahwa pengawasan pemerintah daerah terhadap sektor perkebunan semakin melemah, padahal sektor ini merupakan salah satu yang paling rawan eksploitasi.
Ketua F-SPSI NIBA Sekudik, Ali Usman, menegaskan kondisi buruh sangat mengkhawatirkan.
“Buruh berhak mendapatkan serikat yang legal, bukan serikat yang tidak diketahui domisilinya dan tiba-tiba memotong upah. Perusahaan tidak boleh cuci tangan,” tegasnya.
Ali meminta Disnaker segera:
- Memverifikasi legalitas SBBM,
- Menghentikan praktik pungutan ilegal,
- Memastikan perusahaan melindungi buruh sesuai aturan ketenagakerjaan.
Ia juga menyebut bahwa situasi ini berpotensi menjadi “bom waktu” apabila tidak ditangani serius.
Organisasi masyarakat sipil, pemerhati buruh, dan sejumlah lembaga advokasi mulai memantau kasus ini. Menurut pakar, konflik PSM 2 mengandung tiga persoalan serius:
- Serikat pekerja dengan legalitas abu-abu namun diberi akses ke upah buruh.
- Pelanggaran hak pekerja, mulai dari potongan upah hingga minimnya perlindungan keselamatan kerja.
- Kelambanan Disnaker, yang justru memperkeruh keadaan.
Jika dibiarkan, situasi ini dapat berujung aksi demonstrasi, mogok kerja massal, atau bahkan sengketa hukum yang lebih luas.
Kasus PSM 2 menjadi cermin bahwa tata kelola ketenagakerjaan di daerah tidak boleh berjalan dengan pola “nanti dulu”.
Perusahaan harus menjelaskan siapa serikat yang mereka tunjuk, bagaimana mekanismenya, dan untuk apa upah buruh dipotong.
Disnaker Lampung Timur pun tidak bisa lagi berlindung di balik alasan teknis dan ketidaktahuan. Pengawasan adalah tugas, bukan pilihan.***











