KOTA BEKASI — Di tengah gemerlap kota dan deretan program bantuan sosial yang setiap tahun diumumkan pemerintah, Maryati (81) seperti hidup di tempat yang tidak pernah dijangkau radar siapa pun. Dimana program Keriyaan Lansia pemerintah setempat.
Janda lansia yang tinggal di RT/RW 05/01, Kelurahan Margamulya, Bekasi Utara ini seakan menjadi warganet tanpa network tidak tercatat, tidak tersentuh, dan tampaknya tidak dianggap ditengah beragam program daerah dengan beragam tagline, keriyaan lansia, orang tua asuh dan lainnya.
Sudah 35 tahun Maryati hidup di Bekasi. Suaminya wafat sejak 2020, dan sejak itu ia benar-benar sendiri. Bukan “sendiri” dalam konteks puitis, melainkan harfiah tanpa suami, tanpa saudara, tanpa keluarga dekat, dan yang paling ironis tanpa bantuan sosial apa pun.
“Belum pernah dapat bantuan, sayang. Dari dulu nggak pernah dapet apa-apa,” ucapnya lirih, sebagaimana dilansir Wawai News dari portal berita Potret Kita Jumat (21/11/2025).
Pendapatan Rp35–40 Ribu Sehari, dan Itupun Harus Dibagi Dua
Maryati masih bekerja di usianya yang hampir seabad, mengurut bayi di lingkungan sekitar. penghasilannya hanya Rp35.000–40.000 per hari, nominal yang bahkan tidak cukup untuk membeli lauk dan membayar kontrakan sekaligus.
“Kalau dapet 40 ribu, 20 buat nabung bayar kontrakan, 20 buat makan. Kadang nggak cukup,” tuturnya.
Ini bukan sekadar hidup hemat ini hidup bergantung pada kesabaran dan keberuntungan.
Ia punya anak, tetapi tinggal jauh dan hanya sempat datang setahun sekali. Maryati tidak mau ikut tinggal bersama mereka.
“Saya nggak mau ikut anak. Saya mau hidup sendiri makan sendiri,” katanya dengan senyum yang lebih banyak menyembunyikan perih daripada menunjukkan bahagia.
Saat ditanya soal berbagai program bantuan pemerintah, Maryati hanya menggeleng. “PKH nggak pernah. BLT juga nggak. Cuma waktu Corona aja dapat,” ujarnya.
Di kota sebesar Bekasi yang rutin menggelontorkan anggaran bantuan tiap tahun, fakta bahwa seorang lansia 81 tahun yang hidup sendiri tidak pernah mendapat apa pun adalah ironi yang tidak perlu penjelasan lebih panjang.
Maryati mengenang masa setelah suaminya wafat. Sejak itu, hidupnya makin sempit bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal perhatian manusia.
“Udah lima tahun saya sendiri. Nggak punya saudara, nggak punya keluarga,” ucapnya, matanya berkaca-kaca.
Kisah Maryati adalah gambaran gamblang bagaimana satu warga bisa hidup puluhan tahun di kota besar, tetapi tidak pernah tercatat sebagai warga yang butuh bantuan. Program seringkali mengaku tepat sasaran, tetapi seringkali pula sasarannya justru mereka yang sudah relatif mampu.
Sementara itu, seorang nenek 81 tahun tetap mengurut bayi demi menyambung hidup.
Ini bukan hanya soal bantuan yang tidak turun ini soal sistem yang tidak menengok, dan masyarakat yang semakin terbiasa melihat orang yang membutuhkan sebagai “bukan urusan”.
Semoga kisah Maryati tidak hanya menjadi berita, tetapi juga pengingat bahwa negara tidak boleh hanya hadir saat pemilu, dan pemerintah daerah tidak boleh hanya hadir saat seremonial. Ada warga seperti Maryati yang hanya butuh satu hal: dilihat.***













