Oleh: Prof. Dr. M. Ishom El Saha
Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
WAWAINEWS.ID – Masjid, dalam hakikat sejatinya, bukan sekadar bangunan suci tempat menundukkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga rumah kemanusiaan ruang terbuka yang meneduhkan setiap jiwa yang datang, tanpa memandang siapa mereka. Ia adalah rumah Allah, dan siapa pun yang datang ke rumah Allah sepatutnya disambut, bukan dicurigai; diayomi, bukan diusir.
Di zaman Rasulullah SAW, Masjid Nabawi bukan hanya tempat sujud, tetapi juga pusat kehidupan. Di situlah orang belajar, beristirahat, berdiskusi, bahkan berobat. Dalam riwayat sahih disebutkan bahwa Thamamah bin Utsal, seorang non-Muslim yang kelak masuk Islam, bahkan pernah tidur dan bermalam di masjid.
Dari kisah inilah Imam Syafi‘i mengambil dasar hukum bahwa tidur di dalam masjid adalah mubah (boleh). Pertimbangannya sederhana tapi sarat makna: jika non-Muslim saja diperbolehkan tidur di masjid pada masa Nabi, apalagi seorang Muslim. Masjid tidak boleh menjadi ruang eksklusif yang membatasi umatnya, tetapi justru tempat bernaung bagi siapa saja yang datang dengan niat baik.
Ketika Masjid Menjadi Mewah tapi Tak Lagi Ramah
Ironisnya, di masa kini, banyak masjid berdiri megah menjulang dengan kubah indah dan karpet tebal, namun pintu-pintunya sering terkunci rapat setelah salat berjemaah selesai. Alasannya: menjaga kesucian dan keamanan. Tapi tanpa disadari, kebijakan itu membuat masjid kehilangan denyut sosialnya.
Anak-anak yang bermain sambil belajar tata cara beribadah dimarahi. Orang yang beristirahat atau tertidur karena lelah di perjalanan diusir keluar. Masjid menjadi steril, suci namun kehilangan sisi kemanusiaannya.
Padahal, tidak ada satu pun dalil dalam Al-Qur’an maupun hadits yang membatasi fungsi masjid hanya sebagai tempat ibadah ritual. Rasulullah SAW sendiri pernah bergulat dengan sahabatnya di dalam masjid, sebagaimana diriwayatkan Aisyah ra. Bahkan Umar bin Khattab, yang awalnya keberatan, justru akhirnya menerima ketika melihat Nabi melakukannya.
Masjid di masa Nabi adalah ruang publik umat tempat tumbuhnya ukhuwah, solidaritas, dan kasih sayang. Ia hidup oleh canda anak-anak, diskusi sahabat, dan bahkan deru napas orang yang mencari perlindungan.
Dalil Sosial dari Rumah Ali dan Fatimah
Kisah keluarga Rasulullah juga menegaskan kebolehan tidur di masjid. Diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW berkunjung ke rumah putrinya, Fatimah ra., beliau tidak menemukan Ali bin Abu Thalib di sana. Fatimah menjelaskan, ada persoalan di antara mereka hingga Ali keluar rumah.
Rasulullah lalu meminta sahabat mencari Ali, dan ternyata ia ditemukan tertidur di dalam masjid, tubuh dan pakaiannya berdebu. Rasulullah tersenyum, mendekatinya, lalu bersabda dengan lembut:
“Bangunlah, wahai Abat Turab (Bapak yang berlumur debu).”
Kalimat yang hangat itu bukan teguran, tapi sapaan kasih seorang guru kepada murid, seorang ayah kepada menantu. Sekaligus penegasan bahwa tidur di masjid bukan aib, tetapi bagian dari kehidupan umat yang manusiawi.
Masjid yang Hidup, Bukan Hanya Berdiri
Mazhab-mazhab besar Islam, termasuk Syafi‘i dan Maliki, pada prinsipnya membolehkan tidur di masjid, bahkan bagi yang sudah memiliki rumah. Mazhab Maliki hanya menyebutnya makruh jika tanpa alasan jelas bukan karena masjid dianggap tempat “terlarang”, tetapi karena Islam selalu mendorong adab dan ketertiban.
Kisah lain datang dari Abdullah bin Umar, yang di masa mudanya sering bermalam di masjid. Ini menunjukkan bahwa masjid selalu terbuka bagi siapa pun tempat membentuk spiritualitas dan kedewasaan umat.
Menjadikan Masjid Ramah, Bukan Sekadar Indah
Kini saatnya kita mengembalikan masjid kepada ruh aslinya: rumah Allah yang ramah, inklusif, dan menghidupkan nilai kemanusiaan. Masjid yang terbuka bagi musafir yang lelah, anak-anak yang ingin belajar, dan umat yang ingin berteduh dari panasnya dunia.
Masjid yang suci tak harus steril dari manusia, sebab kesucian sejati justru terletak pada niat dan kemaslahatan yang hidup di dalamnya.
“Masjid yang baik bukan yang paling megah kubahnya, tapi yang paling luas hatinya.”
Di tengah zaman yang kian materialistis, mari jadikan masjid bukan hanya tempat bersujud kepada Allah, tapi juga tempat manusia saling berbelas kasih. Karena sejatinya, rumah Allah adalah juga rumah kita rumah kemanusiaan.***











