Sejalan dengan itu, antara hoax dan fakta semakin sulit dibedakan.
Agitasi dan propaganda semakin tipis selisih identitasnya dengan keberadaan ujaran kebencian, permusuhan dan fitnah sekalipun.
Ada pertarungan sengit antara yang gemar mengumbar kamuflase dan manipulasi data dengan yang masih setia mengusung suara marginal dan realitas obyektif rakyat.
Pun demkian, selalu saja ada politisasi dan anggaran berbiaya besar yang menempel pada para buzzer dan pendengung yang beroperasi sebagai petugas pembelahan sosial, pemecah-belah bangsa dengan modus menghina agama dan melecehkan para ulama dan pelbagai gerakan moral.
Belakangan semakin terus bertumbuh dan meningkat eskalasinya, dari sekedar media alternatif menjadi media pengharapan dan tempat bertumpu gejolak hati dan jiwa rakyat.
Ketika terjadi penyumbatan saluran aspirasi dari mekanisme formal dan normatif, suara rakyat mengalir deras menyusuri kanal-kanal pembebasan.
Amanat rakyat yang digaungkan seakan seperti air bah yang tak terbendung. Bukan hanya sekedar aspirasi, lebih dari itu, keinginan yang membatin dan lama bersemayam sebagai silent mayority, kini menjelma menjadi amplitudo gugatan dan perlawananan serta pembangkangan.
Media sosial akhirnya benar-benar menjadi media kesadaran kritis dan kesadaran makna bagi proses penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa.