Mengungkap kenyataan secara terbuka dan ekspresif, tentang nilai-nilai dan betapa paradoksnya ketika dituangkan dalam praktek-prakteknya.
Lebih polos dan murni mengurai syahwat KKN, memamerkan betapa betapa bugilnya para politisi, pejabat dan pengusaha tanpa aurat integritasnya, serta bangganya para pemimpin dan penguasa pada kerakusan dunia.
Termasuk juga begitu masif dan serba permisifnya, distorsi penyelenggaraan negara tampil seronok, mabuk dan tanpa malu, marak di pangung-pangung sosial rakyat.
Meskipun bagaikan berselancar dengan ranah pidana yang berbungkus UU ITE, media sosial tetap digandrungi rakyat sebagai wadah sekaligus sarana refleksi dan evaluasi kebangsaan.
Sebuah gerakan gerilya opini dan berpotensi sebagai mobilisasi, juta langkah taktis dan stategis yang tak bisa diremehkan, sangat memungkinkan menjadi stimulus meraih capaian tuntututan kesetaraan dan keadilan sosial.
Dengan lepas dan tanpa beban, namun tetap tajam dan menohok menguliti para pemimpin dan aparat pemerintahan yang korup dan dzolim.
Rakyat larut menjadikan media sosial sebagai sidang sekaligus vonis dari pengadilan rakyat yang sesungguhnya.
Mungkin dan boleh jadi ini cara sebagian besar rakyat berkomunikasi, setelah negara dan aparat pemerintahannya gagal menyampaikan bahkan sekedar memahami kehendak dan aspirasi rakyat.
Ketika media mainstream tak berperan memainkan fungsi kontrol dan menyampaikan kebenaran, maka media sosial seakan menjadi kawan seiring sejalan dalam berdemokrasi dan ramah menerima kegelisahan dan kecemasannya.
Sama halnya dengan suara kritis, perlawanan dan pembangkangan yang selalu dikawal tindakan represif, penjara dan ancaman kematian.