Scroll untuk baca artikel
Budaya

Melestarikan Napas Tradisi di Kota Industri: Pentas Seni TTKKBI, Ketika Bekasi Menjaga Akar Budayanya

×

Melestarikan Napas Tradisi di Kota Industri: Pentas Seni TTKKBI, Ketika Bekasi Menjaga Akar Budayanya

Sebarkan artikel ini
Pemerintah Kota Bekasi hadir dalam Pentas Seni Budaya sekaligus pelantikan pengurus DPW 2 Tjimande Tari Kolot Karuhun Banten-Indonesia (TTKKBI) Kota Bekasi (08/11).

KOTA BEKASI – Siang itu, (8/11/2025), para pendekar Tjimande menari di atas tanah yang dulu disebut rawa-rawa, kini jadi tempat kendaraan dan kepadatan beton kota, denting gamelan dan gemuruh tabuh kendang menggema dari sebuah panggung sederhana di Bekasi Barat.

Acara itu adalah Pentas Seni Budaya dan Pelantikan Pengurus DPW 2 Tjimande Tari Kolot Karuhun Banten-Indonesia (TTKKBI) Kota Bekasi sebuah perhelatan yang tak sekadar mempertunjukkan tradisi, melainkan upaya menyalakan kembali bara identitas lokal di tengah modernitas yang nyaris menelan semuanya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Pentas dimulai dengan lagu Indonesia Raya, disusul Mars TTKKBI dan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Tiga simbol bangsa, organisasi, dan spiritualitas berpadu di bawah langit Bekasi, menggambarkan semangat harmoni yang menjadi ruh utama kebudayaan Nusantara.

Di atas panggung, para pendekar memperagakan jurus silat Tjimande: gerakan yang lembut sekaligus tegas, seolah ingin menegaskan bahwa kekuatan sejati lahir dari keseimbangan. Di sisi lain, penari-penari muda mempersembahkan tarian Sunda dengan gerak gemulai yang mengalir seperti sungai Citarum di masa silam jernih, hidup, dan sarat makna.

BACA JUGA :  Dishub Kota Bekasi Bikin Cikiwul Makin Terang

Bagi Sekretaris Kecamatan Bekasi Barat, Dewi Astiyanti, S.T., kegiatan ini bukan sekadar hiburan. “Seni dan budaya adalah bagian dari jati diri kita. Pemerintah Kota Bekasi mengapresiasi setiap upaya pelestarian yang terus dijalankan dengan konsisten,” ujarnya.

Ucapannya terasa relevan di tengah realitas hari ini: kota-kota besar tumbuh pesat, namun sering kehilangan arah karena tercerabut dari akar tradisi.

Bekasi, dengan gedung-gedung industrinya, sering dianggap sebagai kota buruh dan urbanisasi. Tapi di balik itu, ada lapisan sejarah yang kaya: jejak masyarakat agraris dan spiritual Sunda yang dulu hidup dalam keselarasan dengan alam.

Melalui TTKKB organisasi seni bela diri dan budaya yang menautkan nilai-nilai Tjimande dan Karuhun Banten masyarakat diajak untuk mengingat kembali bahwa kemajuan sejati bukan tentang meninggalkan masa lalu, melainkan membawanya bersama ke masa depan.

BACA JUGA :  Limbah Medis Berserakan di TPA Sumur Batu, Jadi Tamparan DLH Kota Bekasi

“TTKKBI tidak hanya menjaga seni bela diri dan tari tradisional, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur seperti hormat, tanggung jawab, dan persaudaraan,” kata H. TB. Arif Hidayat, Ketua Umum TTKKBI.

Pentas ini juga menjadi wadah silaturahmi antarinstansi dan lintas komunitas. Hadir perwakilan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Diskominfostandi, unsur Koramil dan Polsek setempat, serta para sesepuh Sunda yang membawa aura teduh dan wibawa.

Kehadiran mereka menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak bisa berdiri sendiri; ia perlu kolaborasi. Pemerintah menyediakan ruang, seniman menghidupkan ruhnya, dan masyarakat memberi makna.

Suasana di lokasi terasa hangat: generasi muda berswafoto dengan para pendekar tua, anak-anak menirukan jurus-jurus silat dengan canggung, dan para ibu tersenyum di bawah payung tradisional. Semua tampak sederhana, tapi di sanalah makna pelestarian itu berdenyut bukan di museum, tapi di tengah kehidupan.

BACA JUGA :  Penyair Paus Sastra Lampung Membacakan Puisi Pada Puncak Sewindu UTU

Bekasi mungkin identik dengan pabrik, kemacetan, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi lewat pentas seperti ini, kota ini mengingatkan diri sendiri: bahwa di balik hiruk-pikuk industrial, masih ada denyut kebudayaan yang menghidupi warganya.

Di tengah arus globalisasi, pelestarian budaya menjadi bentuk perlawanan paling sunyi namun paling berpengaruh. Ia bukan sekadar nostalgia, melainkan sumber daya spiritual yang menumbuhkan karakter kolektif.

Ketika malam turun dan panggung mulai sepi, aroma dupa masih samar di udara, menyatu dengan suara tawa anak-anak. Barangkali, inilah yang dimaksud leluhur sebagai ngajaga rasa: menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, antara zaman dan akar, antara kemajuan dan kenangan.

“Budaya bukan hanya warisan, tetapi juga arah pulang,” ucap Dewi Astiyanti pelan sebelum meninggalkan lokasi.

Dan mungkin benar di tengah gemuruh kota yang tak pernah tidur, seni dan budaya adalah rumah yang membuat Bekasi tetap manusiawi.***