Scroll untuk baca artikel
Uncategorized

Melihat Kegelapan, Mendengar Kesunyian

×

Melihat Kegelapan, Mendengar Kesunyian

Sebarkan artikel ini
Yusuf Blegur
Yusuf Blegur

Melihat Kegelapan, Mendengar Kesunyian

Disampaikan Oleh Yusuf Blegur

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

WAWAINEWS.ID Ketika mata tak lagi sanggup melihat, ketika telinga tak lagi mampu mendengar, dan ketika bahu tak lagi kekar memikul saratnya beban. Maka yang terbaik dan utama, menggunakan kekuatan Tuhan yang ada dalam jiwa dan keyakinan.

Bukanlah seorang pemimpin, yang bicara keberadaban namun tindakannya dipenuhi kebiadaban. Tidaklah pantas seorang presiden, kerap mengumbar kata kejujuran dan keadilan, dalam tarikan nafas yang sama menghirup kebohongan dan kecurangan.

Rakyat mungkin terpaksa bodoh dan miskin, penguasa boleh leluasa menjadi kaya dan berjaya. Pertanyaannya, berapa lama dan sampai kapan?.

Kemiskinan terkadang bisa dirasakan sebagai suatu kenikmatan. Meski sedikit yang sanggup menerimanya, ia menjadi pelajaran penting mengenal diri dan keberadaan Tuhan.

BACA JUGA :  Capres atau Presiden Gagal?

BACA JUG A: Catatan Yusuf Blegur Terkait Kontestasi Capres Pemilu 2024 : Sandiwara Dinasti?

Sedangkan kekayaan kerap menjadi jalan kesakitan. Menjadi investasi kesombongan dan meningkatkan nilai tabungan arogan. Bagi di miskin tak luput harus menjual iman, bagi si kaya terbiasa membeli kehormatan.

Sembako, uang dan jabatan kadung menjadi komoditas politik kekayaan yang selalu melibatkan di kaya dan si miskin.

Mirisnya, kemiskinan menjadi momok yang menakutkan bagi siapa saja. Kekayaan malah cenderung menjadi target perburuan.

Lambat laut ketiadaan materi dan fasilitas itu, seolah-olah menjadi kematian dalam hidup bagi seseorang. Keberlimpahan harta benda yang dibungkus status sosial, terlanjur menjadi impian. harapan dan kebiasaan, terus dipaksa sebagai suatu keagungan dan kemuliaan.

BACA JUGA :  Yaqut Bukan Yakult

BACA JUGA : Buku Yusuf Blegur ‘Jokowi Pahlawan atau Penghianat’ Diapresiasi

Tak sekadar kemiskinan, intimidasi dan teror yang berujung pada penjara dan kematian juga terus membuntuti kerja-kerja refleksi dan evaluasi.

Tanpa stamina dan kebulatan tekad, ghiroh perjuangan lambat-laun menjadi kendur, luntur dan akhirnya terbentur. Gerakan kesadaran kritis mundur teratur, kemudian terkubur.

Seiring itu muncul persoalan yang gen identik, tentang kedzoliman dan keadilan, tentang penindasan dan perlawanan.

Posisi diametral antara realitas ideal dan faktual mulai mengemuka, meski trennya kohesif dan serba permisif. Banyak yang tersentuh namun tidak sedikit yang acuh. Sebagian mengumbar simpati, sebagian lainnya tetap tak peduli.

BACA JUGA : Geger… Kakon Way Panas Digerebek di Rumah Wanita Bersuami, Sempat Diarak Warga

BACA JUGA :  Politik Perselingkuhan

Ada yang mengambil posisi tirani, yang lainnya terpaksa terpuruk teraniaya. Celoteh pamungkasnya, ini sudah takdir, mau bagaimana lagi?. Skeptis dan apriori, saat orang baik dsn orang jahat berbaur, bergumul dalsm kepekatan hitamnya lumpur.

Mewujud absurd, makna kebenaran dan kejahatan semakin sulit dipisahkan, tak bisa terurai layaknya resan air ke air, resan minyak ke minyak.

Kebenaran dan kejahatan itu, terlalu lama tak mempertontonkan pertarungan, seperti pergumulan eksistensi.

BACA JUGA : Ratusan Ribu Warga Makassar Tumplek Jalan Sehat Perjuangan Bersama Ganjar Pranowo

Keduanya kian intim, seiring sejalan bergaul tanpa batas. Tak banyak lagi yang bisa mengenali perbedaannya. Bahkan kitab suci yang mengajarkan “minal huda wal furqon”, kerap terabaikan.

Yusuf Blegur
Opini

Disampaikan Oleh Yusuf Blegur WAWAINEWS.ID – Mungkin Bahlil…