Embun nun jernih mengintip dibalik dedaunan yang menggigil kedinginan. Kabut turun pelan menghampar warna putih kepada sekitar, suhu kali ini memaksa saya mengendarai sepeda motor menggunakan jaket cukup tebal.
Bersama sembilan belas kawan lainnya, kami, melewati jembatan malang-melintang diatas sungai dengan lebar yang cukup dilewati satu sepeda motor.
Dua menit kemudian pemandangan bukit berunduk-unduk, sawah, ladang mewarnai setiap kedipan mata. Sepeda motor dipacu membelah bukit, lembah yang dibaliknya menyimpan sebuah Dusun sederhana.
Dusun Ceruken, biasa warga sekitar menyebutnya dengan dialek Madura. Tujuan dari perjalanan kali ini adalah mengadakan bakti sosial di SDN 4 Selomukti, Kecamatan Mlandingan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Awal mula kenapa sekolah ini terpilih memang cukup unik? Jujur ide dan gagasan untuk berbagi alat tulis ini lahir “Take Action” melihat fenomena di lapangan kemudian diramu dalam bentuk kesepakatan ide, diimplementasikan dengan aksi nyata (datang ke sekolah langsung).
Sekitar satu bulan saya bolak-balik keluar masuk dusun dan sekolah melakukan asessmen. Mencari data dan menggali informasi terkait kultur pendidikan di Dusun tersebut.
Sesekali saya sengaja ikut membaur dengan warga di warung kopi, melebarkan telinga untuk banyak mendengar, merapikan mulut untuk bertanya banyak hal tanpa menyudutkan atau merendahkan kondisi sosial warga sekitar.
Banyak hal yang mengejutkan, sekolah dipandang lahan untuk mendapatkan pundi-pundi uang oleh orang tua. Sebab beasiswa yang biasa siswa dapatkan bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Belum adanya kesadaran pentingnya pendidikan yang bisa menunjang masa depan, karena menurut informasi yang saya himpun, belum ada satupun di Dusun ini yang sampai menyelesaikan ke jenjang Perguruan Tinggi Negeri, ironis bukan. Begitu pun untuk Sekolah Menengah Atas bisa dihitung dengan jari.
Apakah mereka salah dengan keadaan seperti itu? Mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya, sebab secara sosial banyak promblematika yang harus diselesaikan yang impact-nya juga menyentuh ranah pendidikan.
Misal kesejahteraan ekonomi, jaminan kesehatan, dan pemberdayaan warganya.
Secara geografis Dusun ini berada di titik lembah yang menurut saya aksesnya lebih dekat dengan Kecamatan Wringin.
Kabupaten Bondowoso, dibandingkan Kabapaten Induknya yaitu Situbondo.
Dari segi mata pencarian mayoritas semuanya adalah petani tadah hujan.
Sehingga musim hujan adalah berkah menanam tanaman seperti padi, jagung, dan sebagainya. Ketika musim hujan selesai, bekerja menjadi buruh angkut kayu atau merantau ke luar kota menjadi alternatif pilihan.
Selain itu, berternak Sapi yang jumlah cukup terbatas yaitu satu atau dua setiap kepala keluarga menjadi tabungan untuk kebutuhan yang sifatnya mendesak dan mendadak. Data yang saya peroleh mungkin cukup terbatas.
Karena saya tidak live in (tinggal bersama). Cuma gambaran secara garis besarnya bisa saya lukiskan dalam tempurung kepala.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya saya dan kawan-kawan sampai di tempat tujuan, memarkirkan sepada motor. Membawa beberapa barang sebagai perlengkapan. Disambut senyum manis anak-anak yang masih lugu mengenyam pendidikan.
Saya melemparkan senyum, mengangkat tangan dan mengatakan “TOS” kepada satu persatu anak. Jika saya tebak umur mereka bervariasi mulai yang paling kecil yaitu 4 tahun dan paling besar 10 tahun.
Di sekolah ini siswa/i yang menduduki kelas satu seharusnya berada di bangku TK (Taman Kanak-kanak). Namun, karena tidak adanya lembaga TK (Taman kanak-kanak), terpaksa mereka harus langsung berseragam Sekolah Dasar.
Pukul 08.00 Wib kegiatan berlangsung dengan penuh kehangatan. Kawan-kawan Seribu Alat Tulis membaur bersama anak-anak, guru, dan beberapa orang tua yang ikut mengantar anaknya yang masih kecil.
Matahari mulai naik, lembab udara mulai sembab, semangat anak-anak terpompa antusias sekali. Kegiatan berbagi pengalaman dan memberi semangat pendidikan di dalam kelas sedang dilangsungkan.
Kawan-kawan Seribu Alat Tulis membagi enam kelas menjadi tiga kelas. Kelas satu digabungkan dengan kelas dua dengan team pengajar Ika Wulandari dan Shofia.
Kelas tiga digabungkan dengan kelas empat dengan team pengajar Firda dan Novita. Kelas lima digabungkan dengan kelas enam dengan team pengajar Opik (baca;saya) dan Adip.
Sekitar 30 menit pembelajaran berlangsung. Memupuk semangat dan berbagi cita-cita yang bisa diraih oleh siapapun, terlebih siswa/i SDN 4 Selomukti, yang anak-anaknya hebat dan penuh perjuangan dengan keadaan terbatas dalam pendidikan.
Terkhusus kelas lima dan kelas enam (mereka siswa/i yang saya ajar). Rata-rata bercita-cita menjadi seorang guru. Entahlah, saya tidak bisa mengorek lebih jauh alasan mereka, sebab mereka malu-malu sekali.
Tetapi, Alvian siswa yang duduk dikelas lima dan paling aktif di kelas sejak awal saya membuka pelajaran, jika di narasikan ulang kira-kira seperti ini.
“Kak, saya mau menjadi guru karena ingin mencerdaskan adik-adik saya, dan orang sekitar, bisa membantu seperti guru-guru kami yang ada di sekolah saat ini”
Kedengarannya memang seperti alasan yang umum sekali. Namun, bagi saya ini sebuah penegasan terkait fenomena sosial sekitar. Kawin muda yang menjalar dan tumbuh subur, berakibat tingkat kelahiran semakin meningkat, bahkan satu kepala keluarga bisa melahirkan setiap tahun.
Alvian berkata adik-adik, entahlah apakah itu adik biologis dari Alvian, atau adik-adik sekitar tempat tinggalnya.
Kata “bisa membantu seperti guru-guru kami yang ada di sekolah saat ini”.
Stement Alvian ini coba saya komparasikan dengan hasil bincang ringan dengan guru-guru di ruangannya. Saat kawan-kawan Seribu Alat Tulis sedang sibuk bermain game dengan anak-anak selepas dari kelas.
Saya seorang diri menghilang dari keramaian, memasuki ruangan dan bertemu tiga orang guru yaitu : Pak Hari, Pak Toto Diharajo, dan Ibu Nur Syamsiah. Sedang guru yang lain sebagian sudah izin pamit pulang duluan karena ada beberapa kepentingan yang harus diselesaikan.
Tiga orang guru tersebut saling bergantian menuturkan cerita-cerita yang membuat saya terkejut. Bagaimana tidak? Melihat perjuangannya mengajar yang harus naik-turun bukit (meski sudah bisa diakses dengan sepeda motor), cuma kenapa mereka mau mengajar dengan susah payah. Apa tidak ada kerjaan lain? Ah, bukan, bukan itu!
“Dedikasi” itu kata yang menyelinap dibalik air mata yang sudah tidak kuat ditampungnya, ibu Nur Syamsiah salah satu guru perempuan bercerita dengan sesekali mengusap air mata.
Saya hanya bisa memperhatikan, tidak bisa berbuat banyak.
Selain mendengar cerita tersebut, dan jika dirajut ulang seperti ini.
“Kami guru-guru yang mengajar disini dipandang sebelah mata dek, baik dari pihak pemerintah maupun warga sekitar.
Pemerintah tidak mau tahu persoalan guru-guru dan pendidikan di sini, sedang warga susah kita ajak kerja sama”.
“Pernah suatu kali, sekolah mendapatkan bantuan dana (beasiswa untuk siswa), bantuan itu diperuntukkan hanya untuk beberapa siswa saja. Namun guru-guru mengambil inisiatif lain. Yaitu mengumpulkan orang tua siswa dan meminta keikhlasan untuk dibagikan sama rata setiap siswa”
“Namun, langkah kami ini bisa dikatakan salah. Karena periode ketiga pola seperti ini diprotes sebagian orang tua siswa. Sehingga kami kembali ke pola awal sesuai sistem. Yaitu membagikan bantuan tersebut hanya untuk siswa yang terdata mendapatkan”
“Kami guru-guru dimata orang tua siswa salah lagi. Salah satu orang tua siswa berujar :
(Thinah lah buk guru, Mun tang anak tak olle bantuan, Mak ambhu beih asakolah). Artinya : iya sudah ibu guru, kalau anak saya tidak mendapatkan bantuan, biar berhenti saja sekolah”
“Di sekolah ini segala kebutuhan siswa/i itu digantungkan kepada guru. Misal siswa tidak mempunyai buku, atau sepatu rusak, maka orang tua akan melaporkan ke pihak sekolah, dan meminta sekolah untuk membelikannya, sehingga dengan tulus ikhlas guru-guru patungan dari gajinya setiap bulan untuk membelikan peralatan sekolah yang diminta oleh orang tua siswa”.
Saya yang masih muda merefleksikan diri kepada sosok Tan Malaka, yang katanya “Tujuan Pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”.
Apakah saya sudah sampai ke tahap itu dalam pendidikan? Rasanya belum, saya malu jika harus dibandingkan dengan guru-guru tersebut. Sebab hati nuranj mereka tulus ikhlas membantu anak-anak belajar setiap harinya.
Lalu apa gunanya ditempa dipabrik intelektual (Universitas) jika tidak mampu menghasilkan ketajaman kecerdasan, kemauan yang keras, bahkan halus perasaan baik akhlak dan Budi pekerti.
Tidakkah hanya sebagai produk gagal yang akan hanya menjadi sampah masyarakat. Sepertinya memang begitu, jika anak muda yang harusnya lebih banyak berkarya namun lebih senang menggelapkan usia, anak muda yang harusnya menjadi tameng utama dan tombak senjata melawan tirani, malah lebih suka menghabiskan masa berleha-leha.
Mari hidup sempurna sebagai manusia yang berbagi manfaat kepada sesama. Anak muda dilarang mati muda karena tugas utamanya adalah berkarya.
Catatan untuk Seribu Alat Tulis, 2020
Penulis : Opik dari komunitas Seribu Alat Tulis