Media mainstream dan media sosial beberapa tahun belakangan ini diramaikan dengan kehadiran orang-orang seperti Ade Armando, Denny Siregar, Ade Permana (Abu Janda), Eko Kunthadi, dll.
Kemunculan mereka yang lebih sering berkicau di media sosial, diidentifikasikan publik sebagai buzzer. Mereka juga dikenal sebagai buzzerRp atau buzzer berbayar.
Tidak tanggung-tanggung secara terbuka, ada penegasan aktifitas mereka dibiayai APBN. Maklum, keberadaan dan eksistensi para buzzer ini marak mengiringi pilpres baik periode 2014 dan 2019. Buzzer-buzzer ini seperti menjadi sub koordinat dari pemerintahan yang dihasilkan pilpres yang dianggap paling tidak demokratis, penuh rekayasa dan memecah-belah bangsa. Polarisasi akibat pilpres itu masih menyala-nyala hingga saat ini.
Perangai buzzer, khususnya Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda dan manusia-manusia sejenisnya. Dianggap publik sudah melampaui batas-batas dan kepantasan.
Terutama dalam soal etika, moral dan nilai-nilai keagamaan. Mereka seakan tidak lagi bisa mengelola otak dan mengatur mulutnya. Ade Armando cs, seperti mengalami cedera pemikiran yang parah. Orang-orang yang demi urusan perut semata, dapat mengabaikan harga diri dan martabatnya. Layaknya manusia yang miskin ahlak dan menantang Tuhan.
Merasa kebal hukum dan dilindungi rezim. Para buzzerRp ini angkuh dan jumawa bersilat lidah dan mengumbar permusuhan dan kebencian. Selain menjadi budak sekaligus pengecer program sekulerisasi dan liberalisasi agama, khususnya Islam.
Buzzer-buzzer hina ini nekat merendahkan para ulama, tokoh bangsa, para intelektual dan akademisi negeri ini. Merasa paling pintar dan tahu banyak soal negara ini, sesungguhnya para buzzer ini sedang mempertontonkan kemunafikan dan kehinaan dirinya sendiri.
Berbangga karena didukung pejabat dan bersama para pendukung rezim. Buzzer terus menyakiti rakyat yang nyata-nyata telah menjadi korban kekuasaan rezim tirani.
Pada akhirnya roda sejarah yang akan menentukan di titik mana kehadiran dan eksistensi para buzzer ini berhenti dan lenyap dengan sendirinya.
Bersama rezim yang selama ini menjadi tempat bergelayutnya. Atau kelak, buzzer-buzzer akan dimakan dirinya sendiri. Oleh karma yang menjadi buah pikiran, ucapan dan tindakannya.
Suatu saat gelombang fitnah yang disemburkannya akan tragis menerjang dan melumat sendiri para buzzer.
Hingga saat itu terjadi, rakyat hanya bisa prihatin dan berupaya mengingatkan untuk bertobat kepada para buzzer, aktifis fitnah itu.
Aktifis Fitnah, sebuah nama yang pantas bagi para buzzerRp.
Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.