JAKARTA – Forum tertinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muktamar X, resmi dibuka di Ancol, Sabtu (27/9/2025). Tapi bukannya penuh khidmat, acara ini malah lebih mirip konser dangdut campur tawuran. Ribuan kader PPP yang hadir seolah lupa kalau ini forum politik, bukan festival rebutan mic karaoke.
Suasana panas langsung terasa ketika Plt Ketum PPP Muhammad Mardiono naik podium. Alih-alih tenang mendengar pidato, para kader di barisan belakang kompak teriak: “Perubahan! Perubahan!” Sementara itu, kader di barisan depan tidak mau kalah: “Lanjutkan! Ayok lanjutkan!”
Singkatnya, momen pidato Mardiono berubah jadi adu yel-yel tanpa musik pengiring. Panitia pun panik, buru-buru minta peserta membaca sholawat. Harapannya, adem.
Faktanya? Adem sebentar, terus panas lagi. Pidato Mardiono pun terdengar lebih mirip backsound tawuran daripada sambutan resmi muktamar.
Ketika acara pembukaan selesai, kericuhan malah naik level. Ada kader yang teriak-teriak di depan Mardiono saat ia diwawancarai wartawan.
Kelompok lain membalas dengan teriakan juga. Hasilnya? Adu mulut, dorong-dorongan, hingga kursi melayang seperti promo “Buy 1 Get 1 Free”. Satgas internal PPP pun kewalahan.
Waketum PPP, Rusli Effendi, buru-buru mengingatkan kader agar menahan diri. Katanya, PPP ini partai Islam, bukan geng motor.
“Perbedaan pendapat pasti ada, tapi ada yang santun, ada juga yang barbar. Jangan ulangi sejarah kelam pecah kongsi kayak era Rommy dan Djan Farid,” ujarnya.
Rusli khawatir PPP makin ditinggalkan rakyat kalau terus-terusan ribut sendiri. Sayangnya, kesan yang muncul justru PPP lebih sibuk perang internal ketimbang mikirin cara balik ke Senayan.
Muktamar X ini sejatinya forum sakral. Agenda utamanya: memilih ketua umum definitif periode 2025–2030. Tiga nama masuk bursa:
- Muhammad Mardiono (Plt Ketum, jagoan “lanjutkan”)
- Agus Suparmanto (eks Menteri Perdagangan, jagoan “ayo impor lagi?”)
- Husnan Bey Fananie (eks Dubes RI untuk Azerbaijan, jagoan “politik luar negeri rasa dalam negeri”)
PPP yang dulu jadi salah satu partai Islam terbesar, kini nasibnya miris: gagal lolos ke DPR 2024, alias resmi partai non-parlemen. Ironisnya, alih-alih refleksi dan konsolidasi, muktamar justru sibuk dengan drama rebutan kursi secara harfiah maupun politis.
Muktamar X yang harusnya jadi ajang mencari jalan pulang ke hati rakyat, malah jadi tontonan gratis dengan genre komedi-tragedi. Publik pun jadi bertanya: apakah PPP serius mau bangkit, atau lebih betah jadi partai hiburan politik nasional?.***