BANDUNG – Museum Sri Baduga Jawa Barat diam-diam menyelipkan secuil naskah perlawanan budaya Pameran Nasional Pusaka Nusantara 2025. Pameran ini semacam pengingat halus atau teriakan lirih bahwa sebelum kata “vibes”, “healing”, dan “OOTD”, kita punya Tosan Aji, keris pamor, dan kujang yang tak kalah “aesthetic”.
Digelar dari 29 Juli hingga 31 Oktober 2025, pameran ini konon terbuka gratis untuk umum. Tapi jangan khawatir, meski gratis, isinya bukan murahan.
Total 244 koleksi pusaka dari 26 museum termasuk satu museum universitas, yang membuktikan bahwa akademisi pun masih ingat bentuk senjata tradisional meski mungkin tak tahu cara menghunuskannya.
Tema tahun ini serius menyelami filosofi Tosan Aji, alias senjata tradisional sebagai simbol identitas dan pemersatu bangsa. Ironis? Mungkin. Karena hari ini, yang mempersatukan bangsa justru lebih sering akun gosip dan giveaway e-commerce.
Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan tampak terharu atau setidaknya cukup sadar kamera—saat menyampaikan apresiasinya kepada Kementerian Kebudayaan RI.
Dalam momen penuh simbolik, ia menyerahkan Kujang berkepala Maung Siliwangi (tentu buatan pengrajin Sumedang, bukan cetakan pabrik Cina) kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
“Terus terang saya juga baru tahu, ternyata banyak jenis senjata tradisional dari berbagai daerah,” ucapnya jujur, membuktikan bahwa edukasi tak mengenal jabatan.
Ia pun berharap generasi muda bisa mengenali warisan ini. Walau kita tahu, sebagian dari mereka mungkin lebih akrab dengan senjata di Mobile Legends ketimbang Mandau Dayak atau Badik Bugis.
Menteri Fadli Zon pun mengamini pentingnya pameran ini, karena dari 244 koleksi yang dipamerkan, tiap satunya menyimpan kisah dan nilai budaya.
Namun, tentu saja, tidak semua pengunjung akan membaca keterangan label benda. Sebagian akan fokus mencari sudut foto Instagramable, mungkin dengan caption “Feeling like a Majapahit warrior today #OOTD.”
Kepala Disparbud Jabar, Iendra Sofyan, tidak mau ketinggalan narasi. Targetnya: 50.000 pengunjung. Karena, menurutnya, pusaka-pusaka ini bisa menjadi senjata ampuh promosi pariwisata.
Di luar itu, ia mengakui bahwa pameran ini bukan sekadar ajang unjuk koleksi, tapi juga ajang unjuk kekompakan antar museum se-Indonesia, yang biasanya hanya bertemu di grup WhatsApp atau forum rakor tahunan yang penuh senyum palsu dan absen kosong.
Di era AI dan algoritma, menghadirkan keris dan kujang dalam etalase kaca bisa terasa romantik atau tragik. Pusaka Nusantara mungkin tak bisa lagi digunakan di medan tempur, tapi ia tetap bisa menjadi senjata dalam medan narasi: melawan lupa, membentengi identitas.
Jadi kalau kamu ke Museum Sri Baduga, jangan cuma nyari colokan dan AC. Pandanglah kujang itu baik-baik. Bukan untuk dibawa kabur, tapi untuk direnungkan apa yang sebenarnya sedang kita warisi: besi yang berkarat, atau makna yang nyaris hilang?.***