KOTA BEKASI — Sorotan tajam NCW DPD Bekasi Raya soal dana hibah KONI Kota Bekasi makin seru. Kalau diibaratkan cuaca, suasananya bukan lagi mendung tapi sudah mulai petir disertai hujan angin.
Semuanya bermula dari kontrol sosial NCW (Nasional Corruption Watch) DPD Bekasi Raya yang menyoroti transparansi penggunaan dana hibah KONI, hingga akhirnya dibalas dengan somasi. Alih-alih ciut, NCW justru menanggapinya dengan kalimat puitis sekaligus menohok:
“Bumi tidak akan menolak hujan,” kata Herwanto penasehat DPD NCW Bekasi Raya, Jumat, 10 Oktober 2025.
Kalimat itu bukan metafora cuaca semata melainkan sindiran halus bahwa kritik tidak bisa dilarang. Karena, menurut Herwanto, kontrol sosial adalah bagian dari demokrasi, bukan kriminalitas.
Dalam konferensi pers yang digelar di ruang BPPH Sekretariat MPC Pemuda Pancasila (PP) Kota Bekasi, Ketua NCW Bekasi Raya, Herman menegaskan, tidak gentar menghadapi somasi KONI.
“Kontrol sosial bukan kejahatan. Transparansi adalah hak rakyat. Kalau kritik dianggap serangan, berarti ada yang salah dengan cara pandang terhadap demokrasi,” tegasnya.
Herman juga meminta Ketua KONI Kota Bekasi, yang tak lain adalah Wali Kota Tri Adhianto, untuk membuka hasil pertemuan dengan Inspektorat terkait penggunaan dana hibah.
“Publik punya hak tahu sejauh mana realisasi dan pertanggungjawaban dana hibah itu. Jangan disimpan di laci, buka saja biar terang,” ujarnya.
Kuasa hukum NCW, Mohammad Fajar, membeberkan dasar kritik mereka. Semua berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut pertanggungjawaban dana hibah KONI tahun 2024 belum tertib.
“Laporan penerimaan dan penggunaan dana hibah masih dalam proses audit KAP (Kantor Akuntan Publik) sejak 17 Maret 2025, padahal BPK sudah turun. Ini kan aneh,” katanya.
Lebih jauh, Fajar menyebut ada dana senilai Rp2,4 miliar yang baru dikembalikan pada 1 Juli 2025, padahal seharusnya disetor kembali di tahun 2024.
“Kalau dana sudah digunakan tapi laporan belum siap, itu bukan telat administrasi, tapi telat kesadaran,” sindirnya.
Penasehat NCW, Herwanto, ikut bicara lantang. Ia menegaskan, kritik terhadap penggunaan uang negara tidak bisa dianggap pencemaran nama baik.
“KONI itu lembaga penerima dana publik, bukan individu. Jadi jangan pakai pasal pencemaran nama baik untuk bungkam kritik. Itu pasal bukan tameng,” ujarnya merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008.
Herwanto menambahkan, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat.
“Kalau bersih, kenapa risih? Kalau benar, kenapa gentar?” celetuknya disambut tawa kecil wartawan Limitnews.
Di penghujung konferensi pers, Herman menutup dengan kalimat yang lagi-lagi menusuk tapi logis.
“Kalau kita dikasih uang, suruh belanja, terus ada sisa ya kembalikan. Bukan disimpan dulu. Kalau dana hibahnya belum tertib, ya jangan marah kalau dikritik,” katanya.
Menurutnya, sikap anti kritik justru memperkuat dugaan publik bahwa ada sesuatu yang belum beres.
“Jangan tambal sulam pakai uang rakyat. Kalau alergi kritik, jangan main di ruang publik,” pungkas Herman dengan nada setengah bercanda tapi serius.***