Dia pun menilai pemerintah lamban dalam melakukan langkah antisipasi terhadap virus yang telah merenggut ribuan korban jiwa di kota Wuhan provinsi Hubei Cina itu.
“Mana mungkin terbebas dari virus Corona. Padahal dikatahui bahwa Indonesia menganut asas ekonomi terbuka,” ujar Noorsy saat acara dialog di salah satu Radio Swasta, Selasa (3/3/2020).
Menurut dia, kalau suatu bangsa menganut ekonomi terbuka, maka lalu lintas orang dalam dunia perekonomian antarbangsa akan terbawa.
“Kita menganut ekonomi terbuka sejak era Soeharto. Sementara di era sekarang lebih gila lagi ekonomi terbukanya. Apalagi ada kebijakan kebebasan visa di 114 negara. Nah, berarti sangat mudah penyakit akan masuk ke Indonesia,” ungkap Noorsy.
Jadi, kata Noorsy, masuknya dollar dari sektor wisata, maka akan datang pula penyakit.
Noorsy mengungkapkan, seharusnya pemerintah lebih fokus terhadap kebijakan antisipatif dan prepentif. Karena yang ada saat ini hanya kebijakan kuratif (mengatasi) dalam posisi pandemik seperti saat ini.
Seperti diketahui, Sudah hampir 3 pekan, tak ada lagi kasus baru penularan Virus Corona di Vietnam. Bahkan seluruh pasien yang positif COVID-19 pun telah sembuh.
Sementara, Indonesia baru saja mengumumkan kasus Virus Corona yang menjangkit dua warga negaranya pada Senin 2 Maret. Indonesia pun bisa belajar dari negara tetangga mengenai penanganan Virus Corona secara tepat tanpa membuat panik.
Selain Vietnam, Singapura juga menjadi salah satu negara yang sukses melawan Virus Corona. Dari 108 kasus, 78 di antaranya telah pulih. Hingga Selasa (3/3/2020), tidak ada pasien Virus Corona di Singapura yang meninggal dunia.
WHO pun memuji upaya Singapura menemukan setiap kasus Virus Corona, menindaklanjuti dengan kontak, dan menghentikan transmisi. Harvard University juga mengakui kemampuan Singapura sebagai Gold Standart atau standar tinggi untuk deteksi kasus Virus Corona.
Profesor Amin Soebandrio dari Eijkman Institute menilai ketegasan pemerintah Singapura ternyata adalah kunci. Karena Singapura akan menghukum para suspect Virus Corona yang tak patuh instruksi karantina.
“Mereka sangat strict,” ucap Amin melansir laman liputan6, Selasa (3/3/2020).
“Contohnya, kalau ada orang dalam status pemantauan, di mana mereka keluar rumah, itu sampai ketahuan ke luar rumah, itu bisa dicabut permanent residentnya. Jadi betul-betul hukum ditegakan sehingga orang tentu ada rasa takut tapi itu penting untuk memastikan tak ada penularan,” ia menjelaskan.
Namun, kebijakan Singapura itu tidak mudah diterapkan di Indonesia. Hukuman terhadap status kependudukan berpotensi dianggap melanggar HAM.
Amin pun tak mendukung ide karantina di satu tempat. Self-quarantine dianggap lebih tepat jika ada orang yang punya riwayat kontak dengan penderita Virus Corona. Selain itu, lebih baik memanggil dokter ke rumah ketimbang pergi sendiri karena berpotensi menularkan.
“Kalau sakit lebih baik panggil petugasnya ke rumah, ketimbang datang ke rumah sakit malah menyebarkan ke pasien-pasien lain,” katanya.
Negara lain seperti China, Singapura, dan Korea Selatan, memiliki kebijakan untuk melakukan tes Virus Corona dalam skala besar. Namun, Amin menilai pemeriksaan seperti itu tidak cocok di Indonesia.
“(Pemeriksaan) secara random terbuka saya rasa tidak. Artinya, kita bukan negara tertular yang seluruh negara kena, baru satu daerah tertentu, jadi beda situasinya dengan China,” ujar Amin.
Rekomendasi yang Profesor Amin berikan adalah pemeriksaan secara terarah kepada pasien yang memiliki gejala-gejala Virus Corona, meskipun orang itu tak punya riwayat kontak dengan penderita Virus Corona.
Sebab, ada kasus Virus Corona yang tak punya riwayat kontak dengan penderita di Amerika Serikat (AS). Itu membuat otoritas kesehatan AS, yakni Centers for Disease Control and Prevention (CDC), untuk meneliti lagi kriteria suspect virus ini.
“Itu sudah terbukti terjadi di AS, ada beberapa kasus yang menunjukan gejala tapi sama sekali tidak ada riwayat kontak dan teryata positif sehingga CDC mempertimbangkan kriteria suspect,” jelas Amin. (Red)