Scroll untuk baca artikel
Budaya

Ngekhajang Kumbang hingga Daduwayyan: Tradisi Sakral Paksi Marga Padang Ratu Sambut Raja Baru

×

Ngekhajang Kumbang hingga Daduwayyan: Tradisi Sakral Paksi Marga Padang Ratu Sambut Raja Baru

Sebarkan artikel ini
Prosesi acara adat Lampung pesisir Paksi Marga Pekon Padang Ratu, Tanggamus dalam rangka menyambut kepeminpin toko adat yang baru - Foto Ruslan

TANGGAMUS – Di Lampung Pesisir, tidak semua pergantian kepemimpinan cukup disambut dengan pidato dan baliho. Ada kalanya adat turun tangan, lengkap dengan ritual malam hari, pantun bersahut, dan pencak silat tanpa pengeras suara, tapi sarat makna.

Begitulah yang terjadi di Paksi Marga Pekon Padang Ratu, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus. Keluarga besar adat setempat menggelar rangkaian acara adat sakral dalam rangka menyambut pemimpin adat baru yang akan menggantikan ayahandanya, Bapak Yuspi bergelar Raja Indar.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Tongkat estafet kepemimpinan adat itu kini berpindah kepada anak tertua penyimbang, Briptu Nanda Yogesta Pratama, yang secara adat dikukuhkan dengan gelar Raja Kusuma Bayangkara. Sebuah gelar yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dipesan daring, dan tidak bisa diwariskan sembarangan.

BACA JUGA :  Camat Pematang Sawa Mengaku tak Terlibat Pemasangan LTSHE

Rangkaian adat diawali dengan Ngekhajang Kumbang, ritual memotong daun pandan yang dilakukan pada malam hari.

Acara ini melibatkan makhanai dan muli makhanai Pekon Padang Ratu para pemuda dan pemudi adat yang bekerja bersama dalam suasana khidmat namun penuh kebersamaan.

Bagi masyarakat adat Lampung Pesisir, Ngekhajang Kumbang bukan sekadar persiapan teknis. Ini adalah gerbang sakral menuju acara inti keesokan harinya.

Daun pandan yang dipotong bukan hanya bahan, tetapi simbol kesiapan adat menyambut peristiwa besar.

Puncak rangkaian adat dilaksanakan pada siang hari melalui Daduwayyan, sebuah prosesi berbalas pantun adat (ngababarau) antara muli dan mekhanai. Lantunan syair ini bukan hiburan semata, melainkan dialog budaya yang sarat nilai, etika, dan sejarah.

Namun, jangan salah. Daduwayyan bukan acara rakyat jelata. Ritual ini hanya boleh digelar oleh mereka yang memiliki gekah (hak adat) yakni keturunan raja yang berada dalam struktur Saibatin, khususnya Saibatin Paksi Marga Pekon Padang Ratu.

BACA JUGA :  Riksa Budaya, Pelestarian Tiga Kekuatan Identitas di Jabar

Singkatnya, ini bukan acara yang bisa “ikut-ikutan.” Kalau tidak punya gelar adat atau adok yang sah, lebih baik jadi penonton yang hormat, begitu lah prosesi dan aturan adatnya.

Pemimpin adat Pekon Padang Ratu, Nasrin bergelar Batin Pemang Ratu, menegaskan bahwa Ngekhajang Kumbang dan Dadu Wayyan adalah acara sakral dan langka.

“Acara ini tidak bisa dilaksanakan oleh semua orang. Hanya mereka yang memiliki gelar raja yang diberikan oleh Pangeran Paksi Marga yang berhak melaksanakannya,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Hujairi, utusan dari Saibatin Pangeran Paksi Pekon Padang Ratu. Menurutnya, sejak zaman nenek moyang, prosesi ini hanya diperuntukkan bagi anak tertua penyimbang pewaris utama dalam satu garis keluarga adat.

BACA JUGA :  Usai Dilantik Jadi Kakon Periode Kedua, Sunardi Nyatakan Siap Dikritik

Di masa lalu, salah langkah dalam adat bisa berujung petaka. Kini, meski zaman berubah, aturan adat tetap tegak, tak tergeser oleh modernitas.

Sebagai penutup rangkaian adat, Daduwayyan diiringi pencak silat adat Lampung Pesisir yang dibawakan oleh makhanai Pekon Padang Ratu. Gerakannya tegas, iramanya berwibawa menjadi simbol kesiapan pemimpin baru menjaga kehormatan adat, keluarga, dan wilayahnya.

Di saat banyak tradisi tinggal nama, Paksi Marga Pekon Padang Ratu justru menunjukkan bahwa adat Lampung Pesisir tidak sekadar dipajang, tetapi dihidupi.

Pergantian Raja Indar ke Raja Kusuma Bayangkara bukan hanya soal siapa memimpin, tetapi bagaimana nilai, martabat, dan sejarah tetap diwariskan tanpa perlu teriak, tanpa perlu viral.

Karena dalam adat Lampung Pesisir, yang sakral tak perlu ramai, yang bermakna tak perlu sensasi.***