Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Isu happening hari-hari ini adalah konsesi tambang untuk ormas. NU menjadi bulan-bulanan opini publik. Pasalnya ia menerima kebijakan itu. Bahkan mengaku butuh terhadap konsesi itu.
PP No. 25 / 2024 tentang Perubahan PP No. 96 / 2021 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memberi izin kepada ormas. NU menyambut dengan baik. Sejumlah ormas menolaknya.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) menolak peluang konsesi tambang itu dengan beragam alasan.
Muhammadiyah dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menyatakan tidak akan tergesa-gesa menerima dan memanfaatkan kebijakan itu.
Variasi respon ormas terhadap kebijakan sebenarnya dilatari keragaman karakteristik problem internal ormas itu sendiri. Khususnya dalam hal urgensi, kesiapan SDM maupun fokus dan orientasi gerakan.
Raw material SDM keanggotaan NU berbasis masyarakat akar rumput. Warga miskin pedesaan. Selama satu abad berdirinya, NU disibukkan merawat khasanah keilmuan ke-Islaman klasik. Melalui pesantren-pesantren. Melestarikan khasanah keilmuan bersanad. Sambung-menyambung antar generasi hingga tabiin dan Rasulullah SAW.
Output institusi ini (pesantren) tidak serta merta terintegrasi dengan sistem penyelenggaraan negara modern. Hal itu menjadikan warga NU banyak menjadi outsider dalam Indonesia merdeka. Bahkan hingga era orde baru.
Transformasi warga NU dalam sistem pendidikan modern justru beriringan dengan kesiapan sistem pendidikan nasional Indonesia itu sendiri. Ketika orde lama belum banyak melakukan pembangunan, transformasi pendidikan formal warga NU justru terdorong ketika era orde baru.
Hasilnya ketika memasuki era reformasi, warga NU menikmati booming kader berpendidikan formal. Kader-kader NU banyak mencoraki pemerintahan. Banyak turun di gelanggang politik. Pusat hingga daerah. Seiring dengan rezim elektoral secara terbuka dalam rekruitmen perwakilan rakyat.
Berbeda dengan Muhammadiyah. Sejak awal berdiri, basis keanggotaannya kaum profesional perkotaan. Sejak berdiri sudah mengembangkan amal usaha.
Inovasi-inovasi amal usahanya melebihi kemajuan jamannya. Bahkan pada era orde baru menjadi bagian inner circle pemerintaan. Cukup waktu membesarkan amal usahanya.
Kini amal usaha Muhammadiyah sudah sangat banyak. Bahkan hari-hari ini kita dipertontonkan manuvernya melakukan replacement asset finansialnya dari Bank Syariah Indonesia. Aset kelembagaannya sudah sangat besar. Relatif memiliki kemandirian finansial dalam menggerakkan organisasi.
Berbeda lagi dengan gereja. Kegiatan operasionalnya ditopang dana perpuluhan dari jamaah. Belum lagi dengan dukungan internasional. Mereka telah memiliki kemandirian finansial sejak lama.