TANGGAMUS – Sebuah sosok misterius yang disebut-sebut punya “daya magis” di lingkar kekuasaan Kabupaten Tanggamus tengah ramai diperbincangkan terkait dugaan cawe-cawe.
Pasalnya sosoknya bukan ASN, bukan pejabat, bukan pula staf khusus tapi entah bagaimana, “orang dekat” ini diduga mampu mengatur irama birokrasi hingga ke jantung Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
“Dia itu seperti dirigen orkestra birokrasi. Bupati pegang mikrofon, tapi justru dia yang ngatur lagu. Para kepala SKPD tinggal ikut nyanyi,” sindir seorang sumber internal yang minta namanya disamarkan.
Informasi yang beredar menyebutkan, sosok ini kerap mengundang para kepala SKPD ke rumah pribadinya di kawasan Gisting.
Agenda resminya, pembahasan proposal pembangunan. Agenda tak resminya: obrolan “sensitif” seputar jabatan dan dana dua hal yang, di dunia birokrasi, sering kali berjalan beriringan.
“Lucunya, pertemuan itu tidak di kantor, tapi di rumah. Kalau ini bukan cawe-cawe, lalu apa?” kata sumber media ini dengan nada getir.
Lebih jauh, kabar beredar bahwa Wakil Bupati Agus Suranto pun pernah diminta hadir ke kediaman sosok tersebut. Langkah ini membuat banyak kalangan meradang.
Bukan hanya karena dianggap tak pantas, tapi juga dinilai merendahkan marwah eksekutif.
“Kalau benar orang tanpa jabatan resmi bisa memanggil wakil bupati, ini bukan sekadar pelanggaran etika ini tamparan keras bagi harga diri Tanggamus. Jangan sampai kita punya ‘bupati bayangan’ yang lebih ditakuti daripada pejabat sah,” tegas salah satu tokoh masyarakat yang dikenal sebagai pendukung loyal bupati.
Pertanyaan besar kini menggantung di ruang publik. Bagaimana mungkin sosok yang rekam jejaknya sempat tercoreng justru mendapat ruang begitu besar dalam urusan pemerintahan?
Lebih aneh lagi, kenapa pejabat resmi terlihat segan bahkan tunduk pada seseorang yang tidak memiliki legalitas jabatan apa pun?
Salah satu analis politik lokal menilai fenomena ini sebagai bentuk “feodalisme gaya baru” di tubuh pemerintahan daerah.
“Kekuasaan formal memang dipegang pejabat, tapi pengaruh informal kadang jauh lebih menentukan. Itulah bahaya dari politik kedekatan,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, Wakil Bupati Agus Suranto belum memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi yang dilakukan pada Senin (6/10/2025) sempat disambut positif, namun mendadak batal lantaran, menurut informasi, Wakil Bupati dijemput untuk makan bersama.
Di tengah situasi ini, slogan pemerintahan “jalan lurus, bersih, transparan, akuntabel, dan berintegritas” mendadak terdengar seperti bahan lawakan politik di warung kopi.
Karena faktanya, di balik slogan-slogan indah itu, publik justru melihat bayangan kekuasaan lain yang lebih berani menabuh gendang, sementara pejabat resmi hanya menari mengikuti irama.***