KOTA BEKASI — Pernyataan Ketua Organda Kota Bekasi yang menyebut pemerintah minim berpihak kepada pengusaha angkutan, menuai kritik tajam. Kritik itu dinilai justru mencerminkan kelemahan kepemimpinan internal Organda dalam menghadapi tantangan transportasi kota.
Mantan Ketua Organda Kota Bekasi, Ahmad Juaini, menilai bahwa penyelesaian masalah transportasi publik tidak cukup dengan keluhan. Dibutuhkan aksi nyata dan pendekatan kolaboratif di lapangan.
Ia menegaskan, penyelesaian persoalan angkot dan kemacetan bukan hanya soal keluhan, melainkan butuh aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor.
“Jangan cuma bisa mengeluh. Pemimpin Organda itu harus punya kemampuan melobi, turun ke lapangan, dan memetakan jalur-jalur potensial yang bisa diaktifkan kembali agar angkot tetap eksis. Ini soal kerja, bukan sekadar bicara,” ujar Juaini saat berbincang dengan awak media, Kamis (19/6/2025).
Ia mencontohkan kawasan strategis seperti flyover Kranji, stasiun Kranji melalui Harapan Mulya bisa trayek K-07 atau K-10 yang melalui jalur itu yang memiliki banyak kantor pelayanan publik seperti Kelurahan, Dinas Kesehatan, Satpol PP, Pengadilan, dan Polres.
Menurutnya, kawasan ini bisa diintegrasikan ke rute angkot agar lebih diminati masyarakat.
“Kalau rutenya cerdas dan sesuai kebutuhan warga, pasti angkot akan tetap diminati. Ini soal strategi manajemen trayek, bukan sekadar jumlah armada,” jelas Juani.
Juaini juga menyoroti lemahnya komunikasi Organda dengan Dinas Perhubungan dan pemerintah kota. Padahal, menurutnya, pengurus Organda seharusnya menjadi jembatan aspirasi pengemudi dan pengusaha angkot, bukan sekadar menjadi juru keluh.
“Peran Organda itu proaktif, bukan reaktif. Buka ruang dialog, susun rencana bersama Dishub dan Pemkot. Kalau cuma menuntut tanpa kontribusi, siapa yang mau dengar?” tanyanya tegas.
Ia juga mengapresiasi kepemimpinan Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, yang memiliki latar belakang kuat di bidang transportasi. Tri merupakan alumni Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) dan kemungkinan satu-satunya wali kota berlatar belakang transportasi di Indonesia.
“Wali kota kita ini tahu teknis transportasi dan juga memahami birokrasi serta politik. Harusnya ini jadi modal kuat untuk sama-sama menyusun kebijakan transportasi yang berkelanjutan,” ucapnya.
Juaini juga mengingatkan pentingnya membedakan antara angkutan pemukiman dan angkot reguler. Menurutnya, masih banyak pihak, termasuk pengurus Organda, yang salah kaprah dalam memahami perbedaan keduanya.
“Angkutan pemukiman seperti dari Kemang Pratama ke Cawang itu beda sistem dan regulasi dengan angkot biasa. Jangan disamakan, itu keliru dan membingungkan publik,” ujarnya sambil tertawa.
Sebagai penutup, Juaini mengajak semua pihak untuk berhenti menyalahkan dan mulai bekerja sama mencari solusi.
“Wali kota dan wakilnya bukan pemadam keluhan. Mereka mitra strategis kita. Masalah transportasi itu kompleks menyangkut ekonomi sopir, kenyamanan warga, hingga dampak sosial. Kita harus hadir dengan ide dan aksi, bukan hanya tuntutan,” tandasnya.***