LAMPUNG TIMUR – Peristiwa mencengangkan ditengah riuhnya musik orgen tunggal di sebuah hajatan khitanan di Desa Jabung, Lampung Timur, menambah buramnya nilai budaya di Bumi Betuwah. Seorang pria di kabarkan meninggal dunia, diduga kuat akibat over dosis.
Kejadian serupa terus terjadi setiap tahunnya di Bumi Ruwa Jurai, over dosis pada acara Orgen Tunggal pernikahan, khitanan atau lainnya. Bukan cerita baru di Lampung.
Peristiwa mengguncang di Desa Jabung ini bukan sekadar musibah biasa, ia menjadi cermin buram, bagaimana budaya luar kini merangsek hingga ke jantung desa, menyingkirkan kearifan lokal yang dulu begitu sakral.
Reaksi keras pun datang dari kalangan pegiat adat Lampung. Mereka menyuarakan kegelisahan yang telah lama terpendam, hukum adat dan budaya Lampung semakin terpinggirkan, ia hanya dijadikan simbol atau pelengkap upacara, bukan sebagai landasan nilai kehidupan sehari-hari.
Bahkan Sopiyan Subing seorang pegiat adat Abung dari Sukadana tak segan jika menyebut saat ini adat Lampung hanya pelengkap pada ritual tertentu seperti khitanan, potong rambut, tak lagi bernilai hanya sebatas simbol pelengkap saja.
“Adat digiring jadi ritual di saat resepsi saja,” ujar koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Pelayanan Publik dan Penegakan Hukum (GEMA P5H) dengan nada kecewa.
Padahal dalam hukum adat, sudah diatur rinci tentang hal-hal yang dilarang dan sanksinya. Dari mabuk, zina, buat onar, hingga burus sinjang (sarung kedodoran) ditengah acara semua ada aturan sosialnya dalam suku Lampung.
Burus sinjang, atau melorotnya sarung di tengah keramaian, dulunya dianggap aib besar dalam masyarakat adat. Kini, bahkan mabuk-mabukan di hajatan pun seolah dianggap biasa. Ini bukan hanya soal pelanggaran moral, tapi tentang pudarnya nilai-nilai kolektif yang selama ini menjadi benteng masyarakat adat.
Kritik utama para pegiat adat adalah bagaimana hukum adat tidak lagi memiliki ruang hidup yang memadai di tengah masyarakat modern. Padahal, menurut mereka, hukum adat memiliki potensi menjadi solusi sosial yang kontekstual dan efektif, terutama dalam hal-hal yang belum tersentuh hukum positif.
Salah satu contoh konkret adalah soal “sesan”, yakni penyelesaian adat saat terjadi perceraian. Di banyak kasus, sesan seringkali lebih didengar dan ditaati masyarakat ketimbang putusan hukum formal.
“Bayangkan kalau tokoh adat bisa jadi saksi ahli di pengadilan. Ada ruang, ada legitimasi. Itu bukan hanya pengakuan, tapi juga jembatan antara kearifan lokal dan sistem hukum nasional,” kata Sopiyan Subing.
Sopiyan Subing menyampaikan kekecewaannya kepada kepemimpinan saat ini. Ia mengakui dulu ada Chusnunia Chalim mantan Bupati Lampung Timur yang peduli adat lokal. Ia dikenang sebagai salah satu pemimpin yang peduli terhadap keberadaan masyarakat adat.
“Nunik (sapaan akrab Chusnunia) dulu sangat terbuka. Dia hadir dalam kegiatan adat, mendukung penguatan lembaga adat, dan tak jarang melibatkan tokoh adat dalam pengambilan kebijakan,” ujar Sopiyan Subing mengaku wajar perhatian Nunik besar karena dia lahir ditengah masyarakat Lampung.
Harapan pun tumbuh kembali. Bahwa suatu saat nanti akan ada pemimpin yang tak hanya memajukan pembangunan fisik, tetapi juga memperkuat fondasi sosial-budaya masyarakat agar adat tidak hanya jadi hiasan panggung, melainkan ruh yang hidup dalam setiap sendi kehidupan.
Catatan Redaksi
Kematian tragis di tengah hajatan bukan hanya cerita duka. Ini juga alarm keras bagi semua pihak, bahwa saat adat tak lagi dihormati, bukan hanya budaya yang punah, tapi juga tatanan sosial yang tergerus.
Di tengah dunia yang kian modern, nilai-nilai adat bukan untuk ditinggalkan, tapi justru diperkuat agar mampu berdiri sejajar dan menjadi penuntun moral dalam zaman yang serba bebas.***