Panca Sila tak lebih dari sekedar pepesan kosong, UUD 1945 cuma menjadi siasat dan NKRI dibiarkan terus menjadi wadah tumbuh dan berkembang-biaknya nekolim. Seperti ayam dan telur, mana yang lebih dulu ada?, mana yang lebih dulu memulai?. Begitupun antara pemimpin dan rakyatnya, siapa yang salah dan siapa yang paling bertanggungjawab?. Pemimpin yang khianat dan mudharat terhadap amanat penderitaan rakyat?. Atau semua bermuasal dari rakyat yang salah memilih dan melahirkan pemimpin?.
BACA JUGA: Jangan Keliru Antara Hari Lahir Pancasila dan Hari Kesaktian Pancasila
Pejabat dan pemimpin tanpa karakter, kinerja dan prestasi yang justru menjadi sebab kesengsaraan rakyat juga membahayakan negara bangsa. Seiring itu rakyatnya juga begitu naif, memelihara kebodohan dan kemiskinan hingga menjual kehormatan dan harga diri. Demokrasi dan konstitusi dijual murah dengan seonggok sembako dan serpihan recehan. Begitu antusias dan penuh euforia menerima dan menukar suaranya hanya dengan 50 ribu atau 100 ribu. Masa depan rakyat, negara dan bangsa terlalu gampang dikelabui dan digusur oleh bujuk-rayu citra diri pemimpin yang penuh kepalsuan dan kebohongan. Senang sehari saat pesta demokrasi, menderita begitu lama hingga dekade jalan kepemimpinan yang sesat.
Indonesia, kini di bibir kehancuran krusial dan sistemik. Negara dengan nilai-nilai adiluhung yang berserak pada akar budaya leluhurnya dan kekayaan akan berlimpah, perlahan menjelma menjadi negeri sampah dunia. Pemimpin dan rakyatnya berjarak, nilai-nilai agama, etika dan moral tercerabut dari proses penyelenggaraan negara. Pemerintahannya busuk, rakyatnya terlanjur mabuk. Korup dan glamour telah menjadi gaya hidup, egoisme didorong menjadi cara bertahan hidup yang efisien dan efektif. Pemimpinnya bejad lebih mengutamakan bangsa asing, rakyatnya sendiri melarat, sekarat, mengumpat dan sekarat.
BACA JUGA: Nilai Pemahaman Pancasila Harus di Revitalisasi
Indonesia pasrah menjadi tanah air mata, Indonesia terpaksa menjadi tanah darah dan Indonesia Legowo menjadi tanah derita. Segelintir orang dan sekelompok minoritas bahagia sejahtera, rakyat mayoritas tertindas dan harus terpapas. Pada waktunya rakyat yang lapar dan teraniaya akan beringas mungkin lebih dari binatang buas. Mencari jalan sendiri, tak puas pada Panca Sila yang bisu, ambigu dan ragu menghidupi republik ini. Bukan hanya kekayaan alam dan hidup layak yang terbuang dari rakyat. Rakyat seperti kehilangan segalanya, tak punya daya sosial, tak punya daya politik, tak punya daya hukum dan pertahanan keamanan. Rakyat tak punya apa-apa lagi di negeri yang gemah ripah loh Jinawi yang kemerdekaannya harus ditebus dengan darah dan jiwa. Ya, sia-sia nilai-nilai Panca Sila yang tersingkir dan dicampakan di negara tuna susila.
Perubahan adalah kesadaran, perubahan adalah pemahaman, perubahan adalah kemauan dan perubahan adalah keharusan. (*)