Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Terus eksisnya Gerakan Papua Merdeka (GPM) merupakan prototipe kegagalan kontra propaganda. Sebagaimana kasus serupa pernah terjadi pada kemerdekaan Timor Leste. Pada dasarnya tidak bermuara pada ketidakadilan ekonomi sebagaimana isu berkembang.
Gerakan itu bermula dari narasi sparatisasi. Dipropagandakan secara terus menerus. Dibiarkan sebagai narasi liar tanpa penyeimbang. Narasi sparatisasi itu ibarat bara api dalam sekam. Tidak bisa benar-benar padam. Sewaktu-waktu bisa membesar dan menyala.
Pendekatan pemerintah RI melulu struktural – legalistik. Ialah penyikapan terhadap aksi melawan hukum dan pemerintah sah. Pendekatan hard power. Tentu saja tidak bisa meminimalisasi. Bahkan tidak bisa mematikan narasi sparatisasi sebagai sumber pemicu gerakan.
Ide tidak bisa dibunuh. Terkecuali disandingkan dengan kontra ide. Untuk dinilai publik sendiri: gagasan mana lebih realistis.
Justifikasi narasi sparatisasi itu bisa kita identifikasi melalui beberapa isu dasar.
Pertama, kolonialisasi Jawa/Indonesia atas Papua. Narasi ini bermuara pada dua realita. Ialah transmigrasi dan aparat pemerintahan. Pemerintah pusat tentu saja didominasi bukan orang Papua. Sementara pemerintah daerah tidak secara penuh dikelola orang asli Papua. Banyak pula orang non Papua di tanah Papua oleh transmigrasi. Berkarir pula sebagai aparat pemerintah maupun non pemerintah.
Atas isu ini tidak ada kontra narasi. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia mencerminkan kemajemukan. UUD 1945 melindungi kesamaan hak dalam politik dan pemerintahan. Banyak etnis lain berkarir sebagai aparat pemerintahan di luar wilayah.
Kasus Papua adalah kasus keterlambatan pengembangan SDM. Sebagai dampak perlakuan penguasa kolonial sebelumnya. SDM-nya belum banyak kesiapan memasuki sektor publik, sebagaimana etnis lain di Indonesia. Seiring pembangunan pendidikan, problem itu akan teratasi. Kini pendidikan gencar dilakukan terhadap warga Papua. OAP sudah banyak berkerir di pemerintahan.
Kasus transmigrasi juga dipandang melalui angle sempit. Indonesisa dipersalahan sebagai kebijakan kolonialiasasi.
Faktanya transmigrasi sudah berlangsung sejak era kolonial Belanda. Era sebelum Pepera (penentuan pendapat rakyat). Itu menunjukkan kebutuhan tak terhindari tanah Papua oleh orang-orang non Papua.