Memang belum bisa menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan Prabowo sebagai presiden mengingat usia jabatan yang belum genap setahun. Ditambah lagi dan menjadi krusial saat Prabowo tersandera oleh kekuasaan dan pengaruh Jokowi yang berlatar kekuatan oligarki. Anasir kekuasaan Jokowi yang membatasi kekuasaan Prabowo, bukan hanya terletak pada orang-orang sekeliling Prabowo dalam birokrasi strategis dan kabinet pemerintahannya, sebagian besar loyalis Jokowi dan budak oligarki.
Satu-satunya motif sekaligus faktor fundamental Prabowo tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan independen baik sebagai presiden maupun purnawirawan TNI, karena kepemimpinan Prabowo melalui pilpres 2024 lahir dari proses kejahatan konstitusi dan demokrasi serta tak ada meritokrasi dan prinsip-prinsip “good and clear goverments”.
Bagaimana mungkin negara bisa menjadi benar dan baik, jika pemimpinnya terpilih dari penyimpangan kekuasaan dan pemerintahannya diisi oleh orang-orang haus kekuasaan, korup dan manipulatif.
Sebagai presiden, Prabowo hanya mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin yang sudah cukup puas dengan jabatannya, tanpa kinerja, effort dan capaian prestasi yang terarah dan terukur. Alih-alih melakukan dekonstruksi dan rekonstrusi Indonesia agar terwujud negara kesejahteraan. Prabowo malah menjadi presiden yang saat menjabat justru semakin kuat mendorong Indonesia menjadi “goverment less” dan “fail state”.
Dari analisisnya yang menggambarkan Indonesia akan bubar pada tahun 2030, Prabowo justru menguatkan itu saat ia menjabat presiden. Dari buku yang ia tulis yang berjudul Paradoks Indonesia, kini berbalik pada dirinya sendiri yakni paradoks Prabowo. Entah seperti kata pepatah ‘menepuk air didulang terpericik muka sendiri’ atau memang sudah menjadi takdir negara Indonesia.
Bangsa ini harus terima apa adanya meskipun kenyataannya sangat pahit, realitas dari paradoks Prabowo.
Bekasi Kota Patriot.
8 Safar 1447/2 Agustus 2025