LAMPUNG TIMUR – Monumen Patung Semar setinggi 3,5 meter di Simpang Pasar Jaya Agung Desa Jembrana, Kecamatan Waway Karya, Kabupaten Lampung Timur, dianggap berpotensi merusak keindahan perbedaan dalam bingkai pluralisme di Bumi Tuah Bepadan.
“Bumi Nusantara ini dihuni oleh ratusan etnis dan ribuan suku, dimana etnis dan suku ini masing-masing memiliki kearifan lokal yang disebut adat dan budaya,”ungkap Sofyan Subing, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) kepada Wawai News, Selasa (30/11/2021).
Adat budaya ini lanjut Sofyan Subing, kemudian disebut jati diri bangsa yang merupakan benteng terdalam bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wajib di rawat oleh segenap rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku.
NKRI ini tegasnya berdiri atas kesepakatan suku dan Etnis jauh sebelum Indonesia di proklamasi kan. Jadi sebenarnya NKRI itu terdiri dari Bangsa-bangsa dan suku yang berdaulat.
Menurut Sofyan Subing, membangun sebuah ikon suatu suku atau suatu wilayah di tempat suku dan wilayah lain sangat tidak tepat karena akan memancing protes, ada perasaan tidak mau ikut melestarikan ikon setempat.
“Patung Semar di Desa Jembrana itu, tak menghargai daerah. Jelas ini akan merapuhkan NKRI, kalau mau uji coba ini bener apa tidak ayo kita gerakkan pembangunan semacam ini didaerah lain. Kita lihat pasti Indonesia ini rusuh,”tegasnya tokoh Budaya Lampung Timur ini.
Tidak usah bangun monumen seperti patung, izin menempelkan saja stiker siger di kawasan Malioboro Yogyakarta, pasti ribut,”Jadi kalau mau uji coba gak usah mahal-mahal, coba izin buat patung pengantin Keratuan Melinting di Palembang pasti ditolak,”ucapnya.
Masyarakat Lampung Timur menyadari betul perbedaan ada di tengah kehidupan dan semua dituntut lebih dewasa menyikapi perbedaan tersebut. Tapi tentu tidak seperti itu, harusnya ada istilah di mana bumi di pijak di situ langit di junjung.
“Menjaga perbedaan dan tumbuhkan sikap saling menghormati itu penting,”pungkasnya.