BANDUNG – Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menegaskan komitmennya memperkuat kolaborasi dengan insan media dalam upaya memberantas peredaran rokok ilegal. Media diajak bukan sekadar meliput, tetapi menjadi bagian dari gerakan membangun kesadaran kolektif masyarakat agar bersama-sama menghentikan praktik yang merugikan negara dan daerah tersebut.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat, Adi Komar, menegaskan bahwa rokok tanpa cukai bukan sekadar persoalan hukum, melainkan masalah ekonomi publik. Setiap batang rokok ilegal yang beredar berarti potensi penerimaan negara yang hilang dan pada akhirnya, hak masyarakat yang ikut tergerus.
“Peredaran rokok ilegal berdampak langsung pada penerimaan negara. Padahal, dana cukai itu akan kembali ke daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT),” ujar Adi Komar dalam acara Harmoni Kolaborasi: Media Gathering dan Sosialisasi Gempur Rokok Ilegal untuk Ekonomi Lebih Baik di Nara Park, Bandung, Selasa (16/12/2025).
Dengan kata lain, ketika rokok ilegal dibiarkan, yang dirugikan bukan hanya negara di atas kertas, tetapi masyarakat di lapangan.
Adi Komar menjelaskan, DBHCHT sejatinya diperuntukkan bagi kemaslahatan publik. Dana tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, memperkuat ekonomi kerakyatan, hingga mendukung kesejahteraan buruh dan petani tembakau di Jawa Barat.
“Dana bagi hasil ini dikembalikan kepada masyarakat. Jadi kalau cukainya bocor, yang bocor itu bukan sekadar angka, tapi hak publik,” tegasnya.
Ironisnya, di saat pemerintah berupaya memperluas manfaat DBHCHT, peredaran rokok ilegal justru menjadi “jalan pintas” yang menggerus pendapatan negara dan merusak ekosistem industri tembakau yang legal.
Dalam konteks inilah, Adi Komar menilai peran media dan jurnalis menjadi sangat strategis. Media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga agen edukasi publik yang mampu membentuk opini dan kesadaran kolektif masyarakat.
“Kami membutuhkan narasi yang kuat dari rekan-rekan media. Tulisan, liputan, dan konten yang dibuat adalah senjata paling ampuh untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, tanpa dukungan media, kampanye pemberantasan rokok ilegal berisiko berhenti sebatas slogan. Sebaliknya, dengan narasi yang tepat, pesan ‘Gempur Rokok Ilegal’ dapat tumbuh menjadi gerakan sosial yang hidup di tengah masyarakat.
Pemprov Jawa Barat berharap kolaborasi ini mampu mengubah cara pandang publik: dari sekadar melihat rokok ilegal sebagai barang murah, menjadi kesadaran bahwa murahnya harga menyimpan biaya sosial yang mahal.
“Harapan kami, ‘Gempur Rokok Ilegal’ bukan hanya jargon di spanduk atau baliho, tetapi menjadi kesadaran bersama. Karena jika rokok ilegal dibiarkan, pembangunan yang kita rencanakan bisa ikut tersendat,” pungkas Adi Komar.
Di tengah derasnya arus informasi, Pemprov Jabar menaruh harapan besar pada media agar bukan hanya memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga membantu publik memahami mengapa rokok ilegal harus benar-benar digempur, bukan sekadar diperingatkan.***












