Scroll untuk baca artikel
Lampung

Pengusaha Lokal Lampung Timur Membongkar “Zaman Baru VOC”

×

Pengusaha Lokal Lampung Timur Membongkar “Zaman Baru VOC”

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
ilustrasi

Dari Tender Tertutup hingga Pengusaha Daerah yang Jadi Penonton di Rumah Sendiri

LAMPUNG TIMUR Sejumlah asosiasi pengusaha konstruksi di Lampung Timur mendeklarasikan gerakan protes terhadap praktik pengadaan barang dan jasa di daerah mereka sendiri.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Mereka menamakan diri Aliansi Masyarakat Lampung Timur Membongkar (AMLTM) sebuah sindiran keras terhadap kondisi birokrasi yang mereka nilai “lebih berpihak pada kontraktor luar daripada anak daerah.”

Deklarasi dilakukan Senin (10/11/2025) di salah satu rumah makan di Sukadana. Di tempat yang biasanya hanya riuh oleh suara sendok dan gelas, siang itu bergema tudingan soal ketertutupan tender, monopoli proyek, dan praktik pengkondisian.

“Arogansi dan carut-marut situasi di Lampung Timur ini seperti zaman penjajahan VOC. Kepentingan pribadi dan golongan lebih diutamakan,” kata Maradoni, koordinator AMLTM, dalam konferensi pers yang dihadiri puluhan pengusaha lokal.

BACA JUGA :  Program ‘Makan Bergizi Gratis’ Kembali Makan Korban di Lampung Timur?

Keluhan utama datang dari para kontraktor lokal yang merasa tak lagi diberi ruang untuk berpartisipasi dalam proyek pembangunan di daerah sendiri.

Ketua Gapeksindo Lampung Timur, Diky Hepsaputra, menyebut para pengusaha lokal seolah diperlakukan sebagai tamu tak diundang di rumah sendiri.

“Kami merasa dianaktirikan. Pemerintah lebih percaya orang luar daerah untuk membangun Lampung Timur,” katanya.

Pernyataan Diky disambut tepuk tangan rekan-rekannya. Bagi mereka, pembangunan yang terus digembar-gemborkan pemerintah daerah justru menyingkirkan pelaku lokal, termasuk UMKM konstruksi kecil yang selama ini bertahan di bawah tekanan ekonomi dan birokrasi.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan bersama, AMLTM menyampaikan empat poin tuntutan.
Pertama, mereka akan melaporkan dugaan pengkondisian proyek oleh LPSE dan Pokja pengadaan barang dan jasa kepada aparat penegak hukum.

BACA JUGA :  Ganti Untung Bendung Marga Tiga Baru Terealisasi 3.500 Bidang

Kedua, melaporkan dugaan monopoli pengadaan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Ketiga, mendesak pemerintah daerah memberdayakan pelaku usaha lokal dan UMKM, sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan perubahan tahun 2025.

Keempat, menegaskan pentingnya menjadikan pengusaha lokal sebagai “tuan rumah di tanah sendiri.”

Empat butir itu, bagi para pengusaha, bukan sekadar pernyataan politik, tapi peringatan sosial: pembangunan tak akan adil jika rakyatnya hanya jadi penonton proyek yang digarap oleh orang luar.

Fenomena ini memperlihatkan paradoks pembangunan di banyak daerah. Pemerintah daerah berulang kali menggaungkan pemberdayaan ekonomi lokal, namun praktik di lapangan menunjukkan arah sebaliknya: pembangunan fisik tumbuh pesat, tapi rasa memiliki masyarakat justru merosot.

AMLTM menilai situasi itu berbahaya. Ketika proyek pembangunan lebih banyak dinikmati segelintir kelompok, sementara masyarakat lokal hanya menatap dari kejauhan, maka pembangunan kehilangan makna sosialnya.

BACA JUGA :  Dua Pengedar Sabu di Umbul Buah Tanggamus Berhasil Dibekuk

“Kami tidak menolak investor luar, tapi jangan jadikan kami hanya figuran di tanah kelahiran kami,”
kata Maradoni, menutup pernyataannya.

Deklarasi AMLTM mungkin hanya berlangsung di sebuah rumah makan sederhana, tapi gema pesannya jelas:
ada sesuatu yang salah dalam mekanisme pembangunan daerah.

Lampung Timur seakan tengah menghadapi versi baru dari kolonialisme ekonomi di mana proyek daerah dikuasai jaringan luar, sementara pengusaha lokal hanya diberi janji “nanti giliranmu datang.”

AMLTM menyebut gerakan mereka sebagai bentuk “membongkar” bukan untuk menghancurkan, tapi untuk mengingatkan. Bahwa pembangunan tanpa keadilan hanya akan melahirkan jurang sosial baru antara mereka yang membangun dan mereka yang ditinggalkan.***