LAMPUNG SELATAN – Seorang pria yang sehari-hari menjajakan somay, makanan rakyat yang seharusnya mengenyangkan dan membahagiakan, justru membuat rakyat murka.
Pria tersebut, berinisial Salam, ditangkap polisi karena diduga kuat menjadi pelaku pembunuhan sadis terhadap pegawai koperasi bernama Pandra Apriliadi (24).
Jenazah korban ditemukan warga mengambang di sungai Dusun Sukarame, Desa Haduyang, Kecamatan Natar, Kamis (31/7/2025), dengan posisi tangan terlipat di perut dan masih mengenakan jaket merah serta celana jeans. Bukannya ikut hanyut karena utang koperasi, korban justru diyakini sengaja dihabisi.
Kapolsek Natar AKP Setio Budi Howo membenarkan penangkapan Salam, yang langsung dilimpahkan ke Polda Lampung. “Iya,” jawabnya pendek, sependek umur kepercayaan warga terhadap tukang somay yang ternyata punya niat jahat.
Sebelum ditangkap, Salam lebih dulu kabur entah ke mana, mungkin sedang menyusun rencana ekspansi bisnis somay di tempat lain. Sayangnya, bukan promosi dagang yang viral, tapi karena jejak darah yang mengalir sampai ke medsos.
Akun Facebook bernama @SukmaAriSanjaya membuat pengumuman lebih cepat dari rilis resmi kepolisian:
“Alhamdulillah pelaku pembunuhan petugas koperasi Pandra Apriliadi berhasil ditangkap. Sudah paling benar dan bagus jualan somay, malah bertingkah menghilangkan nyawa orang.”
Salam diamankan dengan kawalan ketat polisi, masuk ke Mapolsek seperti selebritas ke red carpet bedanya, ini karpetnya virtual dan netizennya tidak minta tanda tangan, tapi minta hukuman maksimal.
Tak berhenti di situ. Warga yang murka menyulut api ke rumah Salam. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi sampai tiga kali upaya pembakaran mungkin berharap rumah itu benar-benar gosong sampai ke fondasi memori kelamnya.
“Pertama dibakar kami masih bisa tahan, kedua pak lurah datang. Tapi yang ketiga, ampun deh, kami udah pasrah,” ujar salah satu warga.
Polisi pun akhirnya datang memadamkan api dan amarah masyarakat. Warga yang diduga dari keluarga korban mendatangi rumah pelaku. Sayangnya, si Salam sudah kabur sejak malam kejadian. Maklum, ia bukan warga asli kampung, cuma “pedagang lintas RT”.
“Dari malam kejadian dia sudah kabur. Biasanya dia keliling jual somay, kalau korban katanya waktu itu lagi nagih utang koperasi,” tutur warga yang mengenal pelaku.
Kisah ini menyisakan pelajaran getir sekaligus nyawa bisa lenyap hanya karena urusan kecil yang entah apa dan karena sistem sosial kita yang masih membiarkan orang hidup bersembunyi sampai membunuh.
Di negeri yang katanya ramah ini, ada yang membunuh lalu dibakar rumahnya, bukan karena naskah sinetron, tapi karena kenyataan.
Sementara itu, polisi masih mendalami motif sebenarnya. Entah karena uang, dendam, atau karena pesanan somay ditawar terlalu murah.
Yang jelas, Salam kini sudah tak bisa keliling lagi bukan karena gerobaknya rusak, tapi karena langkahnya kini terbatas tembok tahanan.
Dalam dunia ideal, tukang somay adalah pahlawan rasa lapar. Tapi dalam dunia yang penuh absurditas ini, siapa pun bisa berubah peran. Dari penjual makanan ke pelaku pembunuhan. Dari keliling kampung ke keliling interogasi.***