Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 19/12/2025
WAWAINEWS.ID – Banjir yang baru melanda Sumatera bukan sekadar kejadian musiman. Tidak bisa dianggap selesai begitu air surut. Ia peringatan keras dinamika iklim dan pola curah hujan ekstrem yang semakin kuat di Indonesia.
Data resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan musim hujan 2025/2026 tidak hanya datang lebih awal di banyak daerah. Tetapi diproyeksikan berlangsung lebih lama dari rata‑rata normal klimatologis. Awal hujan tersebar dari September hingga November 2025. Puncak hujan bergeser secara geografis sepanjang akhir 2025 sampai awal 2026.
Puncak musim hujan diprediksi berlangsung di wilayah barat Indonesia seperti Sumatera dan Kalimantan pada November–Desember 2025. Sedangkan Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua menghadapi puncak pada Januari–Februari 2026. Musim hujan berakhir sekitar April 2026.
Prediksi ini menunjukkan ancaman banjir tidak terjadi sekali dan pada satu tempat. Tetapi bergelombang. Berpindah dari barat ke timur dan dari utara ke selatan. Menuntut kesiapsiagaan jauh lebih terencana dan komprehensif di seluruh nusantara. Perlu perang total melawan banjir.
Bukan perang militer melibatkan senjata dan kekerasan. Melainkan metafora mobilisasi semua sumber daya bangsa untuk menghadapi ancaman banjir. Sebagai masalah berulang dan semakin kompleks.
Ini berarti seluruh elemen negara dan masyarakat harus bergerak bersama secara sistematis dan strategis. Banjir bukan hanya peristiwa alam yang dihadapi sekali. Melainkan fenomena hidrometeorologi sebagai bagian dinamika iklim nasional dan global.
Ancaman banjir terus berulang tidak bisa diatasi dengan tindakan parsial atau reaktif belaka. Hujan deras dan banjir: fenomena alam yang tidak bisa dihalangi. Tetapi dampaknya bisa diminimalisir secara signifikan. Apabila seluruh aspek kehidupan bangsa diarahkan mengurangi risiko tersebut.
Pemikiran ini sejalan prinsip Disaster Risk Reduction – DRR yang digagas PBB melalui Sendai Framework for Disaster Risk Reduction. Mitigasi risiko —upaya mengurangi dampak bencana sebelum terjadi —kunci utama dalam menghadapi bencana hidrometeorologi seperti banjir. Menurut pemahaman DRR, bencana bukan akibat kejadian alam itu sendiri. Tetapi merupakan hasil interaksi antara bahaya (hazard) dengan kerentanan sosial dan kemampuan adaptasi masyarakat.
Fokus mitigasi adalah untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan masyarakat terhadap bahaya tersebut. Strategi jangka pendek adalah langkah-langkah yang harus segera dijalankan untuk mengurangi dampak banjir yang sedang mengancam.
Sistem peringatan dini harus diaktifkan. Bekerja secara cepat dan menyeluruh. Memanfaatkan teknologi cuaca real-time agar warga dan pemerintah dapat memantau peluang banjir secara detil. Informasi praktis harus segera disampaikan kepada masyarakat. Termasuk kapan harus mengamankan barang berharga, memindahkan aset, menyiapkan jalur evakuasi dan titik pengungsian yang aman.
Penentuan titik-titik evakuasi dan jalur evakuasi harus jelas, mudah diakses, dan disosialisasikan melalui media lokal maupun aplikasi seluler. Agar setiap warga mengetahui langkah yang harus dilakukan saat banjir datang.
Lahan rawan longsor dan daerah bantaran sungai perlu dipantau dan segera dikosongkan pada saat hujan deras berlangsung. Pemberian informasi evakuasi dini kepada warga di wilayah rawan longsor atau banjir kilat menjadi prioritas utama. Mitigasi cepat, seperti pemasangan pengaman tanah sementara, penahan sedimen, atau relokasi aset penting, dapat membantu mengurangi risiko kerusakan. Sekaligus memperkecil potensi kerugian bagi masyarakat.
Kesiapan infrastruktur dan drainase juga faktor penting dalam mitigasi jangka pendek. Pembersihan drainase perkotaan dan dusun secara masif dan terkoordinasi sangat dibutuhkan. Saluran tersumbat oleh sedimentasi atau sampah akan memperparah banjir lokal. Kesiapan infrastruktur harus mencakup pompa air darurat di titik-titik rawan banjir, saluran pembuangan alternatif untuk mengalihkan aliran air, serta tangki penampung sementara di daerah yang sering tergenang.
Koordinasi dan respons cepat dari berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan mitigasi. Sinergi antara BPBD, TNI/Polri, relawan, dan komunitas lokal harus dijalankan secara efektif untuk merespons laporan awal banjir.
Tim respons perlu siap melakukan evakuasi cepat, distribusi bantuan, dan pengamanan harta benda. Pemantauan titik-titik banjir dan jalur evakuasi secara real-time akan membantu meminimalkan korban dan kerusakan, memastikan setiap langkah tanggap darurat berjalan optimal.
Tidak kalah penting: edukasi dan komunikasi publik intensif. Masyarakat perlu panduan praktis cara memindahkan aset, menjaga keselamatan keluarga, dan tetap waspada selama banjir berlangsung.
Media lokal, radio komunitas, dan media sosial menjadi sarana efektif menyampaikan instruksi tepat waktu. Agar setiap warga bertindak cepat dan terarah pada saat ancaman banjir muncul.
Strategi jangka panjang adalah transformasi struktural dan budaya yang harus dibangun sejak sekarang. Penataan ruang nasional dan daerah harus didasarkan pada data risiko banjir dan pemetaan wilayah rawan. Daerah permukiman dan infrastruktur penting tidak boleh dibangun di zona banjir tanpa mitigasi yang kuat.
Restorasi ekosistem hulu sungai, dengan menanam kembali pohon dan menjaga kawasan tangkapan air, adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya memperlambat aliran limpasan air.
Tetapi juga mengembalikan fungsi ekologis tanah untuk menyerap curah hujan dan mengurangi intensitas banjir. Upaya ini bukan sekedar proyek lingkungan. Ia merupakan bagian dari mitigasi risiko sistemik yang meningkatkan ketahanan wilayah terhadap bencana.
Pengalaman negara lain memperkuat gagasan ini. Belanda, yang sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut, telah menerapkan sistem pengelolaan air dan mitigasi banjir yang sangat terintegrasi. Seperti sistem tanggul, dikes, polder, dan proyek “Room for the River” untuk memberi ruang bagi sungai agar menahan banjir secara alami.
Jepang juga dikenal sebagai negara yang serius melakukan pengurangan risiko bencana, termasuk banjir. Jepang menggabungkan teknologi, sistem peringatan dini, edukasi publik, serta respons yang kuat dalam budaya masyarakatnya. Pendekatan Jepang menunjukkan kesiapsiagaan nasional yang matang dibangun melalui pendidikan, teknologi, dan tata kelola yang terstruktur.
Berbagai sumber menyebut: idealnya strategi mitigasi banjir Indonesia harus menggabungkan langkah struktural dan non‑struktural. Langkah struktural meliputi drainase, tanggul, ruang resapan, dan teknologi sensor real‑time. Sedangkan pendekatan non‑struktural meliputi peraturan tata ruang berbasis risiko, sistem peringatan dini akurat, pendidikan publik, serta partisipasi aktif masyarakat.
Fenomena banjir bukan hanya soal air naik. Ia soal bagaimana kita sebagai masyarakat dan negara belajar untuk hidup bersama risiko itu dengan cara yang lebih bijak, lebih tangguh, dan lebih adaptif. Kesiapsiagaan jangka pendek adalah langkah defensive : mengurangi dampak langsung atas ancaman yang sudah berjalan. Mitigasi jangka panjang adalah strategi ofensif: membangun struktur sosial dan lingkungan yang mampu mengatasi ancaman banjir sebelum ia menjadi bencana.
Musim hujan panjang yang sedang dan akan kita hadapi menegaskan banjir bukan peristiwa sekali terjadi. Akan selalu ada periode puncak hujan berikutnya yang bisa memicu banjir di berbagai wilayah.
Melalui pendekatan “perang total”: perang strategi, pengetahuan, dan tindakan kolektif. Kita memiliki peluang mengubah ancaman yang berulang itu menjadi ketahanan nasional yang kuat. Tujuan akhir bukan menunggu hujan reda. Tetapi memastikan ketika hujan kembali turun deras, kita sudah siap. Tidak panik, mampu melindungi nyawa, harta, dan masa depan keluarga. Melalui perencanaan yang matang dan aksi yang terkoordinasi di seluruh negeri.
Jakarta, ARS (rohmanfth@gmail.com).












