Scroll untuk baca artikel
Lingkungan HidupZona Bekasi

Perwal Ada, Bank Sampah Tiada: RW Bekasi Keren Terjebak Tafsir Kebijakan

×

Perwal Ada, Bank Sampah Tiada: RW Bekasi Keren Terjebak Tafsir Kebijakan

Sebarkan artikel ini
Antrian Truk angkut Sampah selama Hampir Sebulan di Depan Rumah Warga, menjadi keluhan karena mengeluarkan aroma busuk, sampai H-3 Lebaran Idulfitri antrian masih terjadi, Jumat 28 Maret 2025 Foto: Rocky
Antrian Truk angkut Sampah selama Hampir Sebulan di Depan Rumah Warga, menjadi keluhan karena mengeluarkan aroma busuk, sampai H-3 Lebaran Idulfitri antrian masih terjadi, Jumat 28 Maret 2025 Foto: Rocky
  • Syarat wajib di atas kertas, opsional di lapangan pengurus RW bingung, aturan terasa lentur.

KOTA BEKASI — Program Penataan Lingkungan RW Bekasi Keren melalui bank sampah kini menghadapi ujian serius bukan soal semangat gotong royong warga, melainkan konsistensi kebijakan Pemerintah Kota Bekasi sendiri.

Di tengah tenggat laporan pertanggungjawaban (LPJ) hingga 20 Desember 2025, muncul polemik yang membuat pengurus RW bertanya-tanya aturan yang mana sebenarnya harus diikuti?

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Pangkal persoalan berada pada bank sampah. Dalam regulasi resmi, keberadaan bank sampah ditegaskan sebagai syarat utama pencairan dana.

Ketentuan ini tertuang jelas dalam Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 23 Tahun 2025, bahkan ditegaskan langsung Wali Kota Bekasi melalui laman resmi Pemkot pada 16 September 2025.

BACA JUGA :  DPC LAKI Gelar Aksi, Bentangkan Spanduk Rapihkan Tikus-tikus BMSDA Kota Bekasi

Namun realitas di lapangan berkata lain. Banyak RW belum memiliki bank sampah secara fisik, sebagian bahkan belum menjalankan aktivitas pengelolaan sampah sama sekali. Ironisnya, kondisi ini seolah tak lagi menjadi penghalang.

Pernyataan terbaru Wali Kota Bekasi kepada awak media justru memberi tafsir berbeda. Bank sampah tak lagi disebut sebagai syarat mutlak. Yang terpenting, kata dia, RW tetap melakukan kegiatan bersih-bersih dan gotong royong.

“Yang penting mereka tetap melaksanakan kegiatan bersih-bersih gotong royong untuk menjaga wilayahnya,” ujarnya.

Pernyataan ini sontak memunculkan pertanyaan mendasar: apakah bank sampah masih wajib, atau kini sekadar opsional?

Ketidaksinkronan antara aturan tertulis dan narasi kebijakan ini dinilai berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum di tingkat pelaksana.

RW yang patuh dan berupaya memenuhi seluruh persyaratan justru merasa dirugikan, sementara RW yang belum memiliki bank sampah tetap bisa berjalan mulus.

Dalam situasi seperti ini, aturan seolah menjadi lentur bukan karena direvisi, melainkan karena ditafsirkan ulang di lapangan.

Lebih jauh, Wali Kota juga menyebut bahwa dana RW Bekasi Keren dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan lain, mulai dari pemasangan CCTV, perbaikan jalan lingkungan, renovasi mushola, hingga pembenahan kantor RW.

Pernyataan ini kian memperkuat kesan bahwa fokus program bergeser dari penataan lingkungan berbasis pengelolaan sampah menjadi program infrastruktur lingkungan serba guna.

Padahal sejak awal, RW Bekasi Keren digadang-gadang sebagai instrumen perubahan perilaku masyarakat, mendorong pengurangan sampah dan konsep zero waste melalui bank sampah di tingkat RW bukan sekadar proyek fisik.

Kini, menjelang batas akhir LPJ, banyak pengurus RW berada di posisi serba salah. Di satu sisi mereka terikat oleh Perwal yang masih berlaku. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada praktik kebijakan yang tampak lebih fleksibel.

Tanpa kejelasan resmi, kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah administratif di kemudian hari, terutama jika dilakukan evaluasi atau pemeriksaan anggaran.

Publik Bekasi pun menunggu satu hal sederhana namun krusial, penegasan. Apakah Perwal Nomor 23 Tahun 2025 masih menjadi rujukan utama, ataukah telah terjadi perubahan kebijakan yang belum dituangkan secara resmi?

Tanpa kepastian itu, program yang bertujuan menata lingkungan justru berisiko meninggalkan persoalan baru bukan di tong sampah, melainkan di tata kelola pemerintahan.***