GARUT — Harusnya hari itu penuh tawa, iringan gamelan, tarian tradisional, serta pelaminan mewah berlatar megahnya kekuasaan dan popularitas dua keluarga elite. Tapi takdir bicara lain. Di tengah gegap gempita pesta rakyat pernikahan antara Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dan Putri Karlina, Wakil Bupati Garut, tragedi justru hadir tanpa undangan.
Tiga orang pulang tanpa kehidupan, seorang bocah perempuan 8 tahun, seorang nenek 61 tahun, dan seorang polisi yang gugur dalam tugas. Nyawa melayang, bukan karena perang, bukan karena pandemi, melainkan karena… nasi kotak.
Ya, Anda tidak salah baca. Nasi kotak5.000 porsi makanan gratis yang jadi daya tarik utama pesta rakyat ini menjadi pemantik kerumunan mematikan di jantung kota Garut, tepatnya di Alun-alun Garut yang hari itu berubah dari pusat kebahagiaan menjadi altar duka massal.
Mela, seorang ibu pedagang kaki lima, tak pernah membayangkan hari itu akan jadi kisah paling tragis dalam hidupnya. Putrinya, Vania Aprilia, biasanya hanya bermain di sekitar lapaknya. Tapi hari itu, bocah kecil itu ikut antre makanan, tak tahu bahwa jalur menuju nasi kotak ternyata bisa berujung maut.
“Sudah dingin, sudah bengkak,” kata Mela dengan suara bergetar, saat mengenang saat ia melihat anaknya dalam ambulans. “Dari sini sudah meninggal.”
Delapan tahun usia Vania. Satu digit kehidupan yang seharusnya diisi belajar dan bermain, bukan desakan massa dan napas terakhir di pelataran pesta pejabat.
Informasi soal pesta rakyat dan pembagian ribuan makanan ini menyebar cepat seperti diskon akhir tahun. Dari WhatsApp group ibu-ibu hingga Facebook RT, kabar itu menjalar dan menarik ribuan orang ke pusat kota sejak pukul 08.00 pagi.
“Gratis, Bu! Ambil aja! Pernikahan anak pejabat!” begitu mungkin bunyinya di status WA atau caption Instagram para netizen.
Sayangnya, tidak ada disclaimer bahwa “antrian panjang bisa menyebabkan sesak napas, kehilangan anak, atau bahkan kematian.”
Bripka Cecep Saeful Bahri, polisi yang bertugas mengamankan acara, turut menjadi korban. Ia bukan hanya bertugas menjaga, tapi akhirnya ikut menjaga nyawa dengan nyawanya sendiri. Dan Dewi Jubaedah, 61 tahun, yang mungkin berharap sekadar ikut euforia rakyat kecil dalam pesta besar, malah menutup usia di tengah lautan manusia yang hausn makanan.
Pedagang kaki lima, Neulis, masih mengingat jelas detik-detik mencekam itu. “Saya bantu anak-anak yang kejebak depan Kimia Farma. Gerbang dibuka tutup sedikit. Mungkin anak itu keseret pas dibuka,” katanya.
Ia juga menyaksikan sendiri kondisi Vania anak Mela yang tubuh mungilnya sudah tak lagi memberi tanda kehidupan. “Yang paling parah itu, pas dicek sudah gak ada,” ucapnya lirih.
Pesta Elite, Luka Publik
Dalam buku pedoman etika kekuasaan, barangkali ada bab yang terlupa, “Bagaimana menyelenggarakan pesta tanpa menyebabkan kematian.” Tapi sayangnya, manual itu tampaknya tidak dibaca oleh panitia pesta Garut.
Karena apa gunanya tenda megah, panggung hiburan, dan ribuan nasi kotak, jika yang pulang malah tiga jenazah?
Mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa ini kelalaian. Tapi terlalu telat juga untuk sekadar minta maaf. Karena yang wafat tak bisa dibangunkan dengan konferensi pers.
Ketika pesta elite menewaskan rakyat kecil, kita patut bertanya, Apakah ini harga dari simbolisme “merakyat”? Atau inilah wajah ironi demokrasi di mana “pesta rakyat” hanya nama lain dari pesta kekuasaan yang dibiayai harapan rakyat kecil?
Hari itu, Alun-alun Garut bukan hanya menjadi lokasi pesta pernikahan anak pejabat, tapi juga nisan terbuka bagi solidaritas yang rapuh dan sistem pengamanan yang ringkih. Banyak yang pingsan.***






