Scroll untuk baca artikel
Opini

Petisi Copot Wapres dan Prinsip Jenderal Soeharto: Tidak Mewariskan Kudeta

×

Petisi Copot Wapres dan Prinsip Jenderal Soeharto: Tidak Mewariskan Kudeta

Sebarkan artikel ini
Gibran kunjungi warga korban banjir di PGP, Jatiasih, Kota Bekasi, pada Rabu 5 Maret 2025 - foto doc
Gibran kunjungi warga korban banjir di PGP, Jatiasih, Kota Bekasi, pada Rabu 5 Maret 2025 - foto doc

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Copot Wapres, hari-hari ini pendulum isu publik bergeser. Isu ijazah palsu Presiden ke-7 Jokowi meredup. Ditimpa isu baru yang sedang mencuat: “petisi copot wapres”.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Sebanyak 103 purnawirawan TNI membuat petisi. Didukung mantan Wapres Try Sutrisno. Ada 8 poin tuntutan itu. Isu “copot wapres” merupakan tema paling menarik perhatian.

Haters dan oposan Presiden ke-7 Jokowi menyambut suka cita ide itu. Walau tampak sebagai perulangan tema konfrontasi pilpres. Tema-tema soal “manipulasi konstitusional MK” dan ketidakpantasan “anak belum cukup umur” sebagai wapres. Bisa dikatakan petisi itu bernuansa “gagal move on” pilpres.

Pihak moderat mengajak permakluman. Petisi ratusan purnawirawan TNI itu sebagai kewajaran aspirasi. Keragaman perspektif belaka.

Tidak perlu disikapi secara berlebihan. Hanya perlu diperlakukan sebagai ekspresi multikulturalisme ide dalam atmosphere demokrasi.

Di luar dua kelompok responsi itu, terdapat cara pandang bahwa petisi sebagai cerminan otoritarianisme sisa-sisa “old era”. “Petisi Copot Wapres” merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi.

Mengingkari “mahkamah rakyat”. Pilpres memutuskan 58 persen rakyat memilih Capres-Cawapres Prabowo-Gibran. Realitas itu harus dihormati.

BACA JUGA :  Titiek Soeharto di Tengah Gejolak Purnawirawan TNI

Konstitusi telah berubah. Era MPR sebagai “locus of power” atau pemegang kedaulatan rakyat, telah berakhir. Telah di amandemen. Rezim MPR memberi jalan politis dalam pemberhentian jabatan sebagai Presiden-Wakil Presiden.

Kini pemberhentian presiden-wakil residen harus melalui proses legal-politis. Capres-Wapres harus diputuskan oleh MK telah melanggar konstitusi. Baru MPR bisa melakukan proses secara politis. Maka petisi “copot wapres”, tidak memiliki pintu legalistik.

Lalu bagaimana caranya?. Kudeta?. Dipaksaan di luar rule of the game yang ada. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kelompok pro demokrasi. Terhadap kejanggalan ide petisi “Copot Wapres”.

Terkait pengelolaan perubahan radikal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, kita perlu belajar dari salah satu legenda TNI. Jenderal Besar HM.

Soeharto. Ia juga presiden terlama dalam sejarah Indonesia merdeka. Pernah melewati transisi menegangkan dari era Orde Lama menuju Orde Baru.

Perubahan se-radikal apapun harus tetap konstitusional. Tidak boleh mewariskan tradisi kudeta.

“Saya tetap berfikir, memberi nafas pada kehidupan demokrasi sangat perlu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Saya tetap teguh dalam pendirian, tidak akan mewariskan lembaran sejarah hitam dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, menggunakan kekuatan senjata merebut kekuasaan (atau coup) sebab sekali terjadi akan terus bisa terjadi seperti di Amerika Latin atau Afrika.”

BACA JUGA :  Anies, 'Oemar Bakri' dan Pendidikan untuk Orang Miskin

Prinsip itu ia tegaskan melalui buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 1989), Hal. 175-178).

Ketika menjelaskan masa-masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Presiden Soekarno dinilai berpihak pada PKI. Terlalu lamban bertindak. Negara dan bangsa menjadi penuh gejolak.

Kabinet 100 menterinya Presiden Soekarno dihujat banyak pihak. Muncul desakan kuat agar Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan negara. Sikap Jenderal Soeharto tegas: “perubahan harus konstitusional, tidak boleh mewariskan tradisi kudeta”.

Ia buktikan sikapnya itu. Transisi Orde Lama – Orde Baru berlangsung sesuai konstitusi. UUD 1945. Melalui proses konstitusional di MPR.

TNI dikendalikannya tanpa memiliki tradisi kudeta. Berbeda dengan negara-negara Amerika Latin, semenanjung Arabia, Afrika, Thailand, Filiphina. Militernya gemar kudeta.

Pada era reformasi, ketulusan sikap Jenderal Soeharto itu dibalik. Dijadikan senjata pembunuhan karakter terhadap dirinya. Ia dituding melakukan “kudeta merangkak”. Melalui Supersemar, ia dikesankan melucuti kekuasaan Presiden Soekarno.

Narasi kudeta merangkak itu tepatnya disematkan kepada PKI. Melakukan kudeta bertahap: militer dan politis. Pimpinan TNI AD dihabisi terlebih dahulu.

Kemudian dibentuk dewan Revolusi 1 Oktober 1965. Sebagai sumber segala kekuasaan yang baru. Presiden Soekarno di demosionerkan.

BACA JUGA :  Satu Bulan Prabowo-Gibran

Melalui Dewan Revolusi inilah PKI mengendalikan kekuasaan di Indonesia. Skenario itu berhasil digagalkan Jenderal Soeharto.

Presiden Soekarno runtuh oleh realitas politik. Kekuasannya disangga politik 3 kaki: Nasionalis-Agama-Komunis. Ketika kaki ketiga (PKI) runtuh oleh gagal kudeta, maka runtuh pula eksistensi kekuasannya. Politik Luar Negeri Presiden Soekarno memusuhi barat.

Ketika komunis gagal berkuasa di Indonesia, aliansi dengan negara-negara blok komunis juga runtuh. Presiden soekarno tidak punya aliansi lagi dengan Blok Barat dan Blok Timur dalam politik luar negeri. Habislah kartu politik yang dimiliki Presiden Soekarno. Baik penyangga politik dalam negeri maupun luar negeri.

Lepasnya kartu-kartu politik itu penyebab runtuhnya kekuasaan Presiden Soekarno. Bukan karena dikudeta oleh Jenderal Soeharto. Maka tidak ragu bagi Jenderal Soeharto untuk “mikul duwur mendhem jero” terhadap pendahulunya itu. Bukan menghujatnya.

Pelajaran dari para pendahulu bangsa adalah tradisi perubahan secara konstitusinal. Kudeta hanya akan melahirkan dendam tidak berkesudahan. Bangsa perlu menyatukan kekuatan memanfaatkan momentum merebut kemajuan.

Kita punya waktu pendek. 2030-2045. Ketika bonus demografi dalam genggaman.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)