LAMPUNG SELATAN — Mobil boleh baru, tapi etika lama tak kunjung ditukar. Mantan Kepala Desa Baktirasa, Kecamatan Sragi, Lampung Selatan, Iis Wahyudi, disebut masih menyimpan “utang moral” sekaligus “utang material” sebesar Rp16 juta dari kas Dana Desa yang ia pinjam pada tahun 2020.
Sampai berita ini diturunkan, uang tersebut belum juga kembali ke tempat asalnya yakni kantong rakyat.
Yang bikin geleng-geleng, dana desa itu ternyata bukan untuk bangun jalan atau posyandu, melainkan digunakan untuk uang muka (DP) pembelian mobil pribadi. Hal ini diungkap langsung oleh Zaki, Bendahara Desa setempat, sebagaimana dilansir Wawai News, pada Selasa (22/7/2025).
“Saat itu beliau baru beberapa bulan menjabat, tapi sudah langsung pinjam dana desa buat DP mobil. Katanya darurat, mungkin darurat gengsi,” ujar Zaki, separuh kesal, separuh pasrah.
Kini, Iis Wahyudi sudah tak menjabat sebagai kepala desa, namun masih aktif sebagai guru SD di Sragi. Sayangnya, meski telah mendidik generasi muda soal kejujuran dan tanggung jawab, nilai-nilai itu belum terlihat dalam praktik finansialnya.
Lebih mengejutkan, Zaki mengisyaratkan adanya “utang lain” yang jauh lebih besar dari Rp16 juta. Tapi seperti drama Korea, episode berikutnya masih ditahan.
“Sebenarnya ada lagi, dananya lebih besar. Tapi nanti saya buka semua saat Musdeslub (Musyawarah Desa Luar Biasa),” tegas Zaki, seperti sedang membangun cliffhanger.
Pernyataan ini menyulut kegelisahan di tengah masyarakat. Warga kini bertanya-tanya apakah desa mereka sedang dikelola atau dijadikan koperasi simpan pinjam diam-diam?
Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi pengelolaan Dana Desa. Masyarakat mulai bertanya-tanya: apakah Dana Desa ini memang untuk pembangunan, atau untuk memenuhi gaya hidup pejabat desa?
Seorang tokoh pemuda di Baktirasa, yang enggan disebut namanya, berkata, “Waktu menjabat gayanya kayak mau bangun Smart Village. Eh, ternyata yang smart mobilnya duluan.”
Sementara itu, upaya konfirmasi kepada Iis Wahyudi masih belum membuahkan hasil. Dihubungi via telepon tidak aktif, ditemui di sekolah tidak ada, dan dikirim pesan WhatsApp hanya centang dua, tapi tak dibalas klasik.
Masyarakat kini menanti Musyawarah Desa Luar Biasa, yang dikabarkan akan jadi ajang “buka-bukaan” lebih lanjut soal dana-dana yang menguap misterius.
Jika terbukti benar, maka bukan hanya perlu pengembalian uang, tapi juga pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap aparatur desa.
Dan tentu, sebuah pertanyaan mendasar tetap menggantung di udara Baktirasa,“Kalau pakai uang negara buat DP mobil, berarti plat kendaraannya B/D (Bantuan Desa)?”hehe.***