TANGGAMUS – Kabar duka kembali datang dari pedalaman Kabupaten Tanggamus, Lampung dengan cara yang menyakitkan sekaligus ironis. Pada Kamis pagi (11/9/2025), Aisyah ibu 55 tahun dari Dusun 2 Pekon Sanggi Unggak, Kecamatan Bandar Negeri Semuong mengembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan menuju RSUD Batin Mangunang.
Bukan penyakitnya saja yang merenggut nyawa, tapi juga jalanan yang seperti menertawakan janji-janji pembangunan. Ambulans yang datang hanya sanggup parkir sampai Dusun Bambu Kuning. Sisanya, medan licin dan terjal membuat kendaraan menyerah.
Maka, warga pun mengambil alih tugas negara, dengan menandu jenazah dengan bambu dan sarung, berjalan kaki menuruni bukit sejauh hampir satu kilometer. Hal itu karena tak mungkin di bawa dengan kendaraan roda dua.
“Karena tidak mungkin dibawa dengan motor, akhirnya warga bergantian memikul,” kata Kapolsek Wonosobo, Iptu Tjasudin, yang turut mengonfirmasi bahwa ambulans memang kalah oleh jalan becek.
Potret yang Terlalu Biasa
Video tandu darurat itu viral di media sosial. Sejumlah lelaki terlihat bergantian menggotong tubuh Aisyah, wajah mereka serius tapi ada juga yang tersenyum getir ke kamera. Barangkali sadar, di negeri ini tragedi baru bisa didengar kalau sudah jadi tontonan warganet.
Warga berjalan dengan ritme lambat, seperti prosesi adat. Bedanya, ini bukan upacara budaya, melainkan “budaya” infrastruktur buruk yang sudah diwariskan dari rezim ke rezim.
Empat Tahun Berjuang
Kapolsek menyebut, Aisyah sudah empat tahun melawan diabetes, asma, dan komplikasi lain. Berkali-kali masuk rumah sakit, berkali-kali pula keluar dengan harapan baru. Tapi kali ini, sebelum sempat bertemu dokter, ajal menjemput di tengah jalan.
Mungkin kalau jalanan mulus, cerita akan lain. Tapi di Dusun Sanggi Unggak, aspal hanya sebatas bahan pidato. Selebihnya, tanah licin dan bebatuan yang lebih akrab dilintasi kambing ketimbang roda empat.
Janji yang Terus Ditunda
Ironi ini jelas menohok: negara sibuk bicara revolusi digital, kecerdasan buatan, bahkan lompatan teknologi pertahanan. Tapi di Tanggamus, mengantarkan orang sakit ke rumah sakit saja masih perlu gotong royong, bambu, dan doa agar tandu tidak patah.
“Ambulans tidak bisa masuk karena jalan. Jadi ya kami gotong sama-sama,” ujar seorang warga, sambil menghela napas panjang. Di balik helaan itu, terselip humor pahit: ternyata pembangunan memang ada, tapi baru sebatas baliho.
Harapan Warga
Kini, kisah Aisyah jadi viral, menambah panjang daftar cerita warga pedalaman yang kalah sebelum sempat berobat. Warga hanya bisa berharap, video itu cukup memalukan para pemegang kuasa sehingga jalanan tak lagi jadi penghalang hidup dan mati.
Sebab kalau tidak, sarung dan bambu akan tetap jadi alat transportasi darurat paling handal di Tanggamus.***