Scroll untuk baca artikel
Opini

Presiden Soeharto: Pahlawan Nasional dan Rel Reformasi

×

Presiden Soeharto: Pahlawan Nasional dan Rel Reformasi

Sebarkan artikel ini
H. M Soeharto Presiden ke-2 RI - foto net
H. M Soeharto Presiden ke-2 RI - foto net

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID - Gerakan Reformasi 1998 lahir bukan dari ruang hampa, melainkan dari perubahan jiwa zaman (Zeitgeist) semangat baru yang menuntut keterbukaan, partisipasi, dan penegakan hukum. Praktik politik Orde Baru yang ditandai oleh pembatasan partai politik, sentralisasi pembangunan, dwifungsi ABRI, dan masa jabatan presiden tanpa batas dinilai sudah tidak relevan dengan tuntutan demokrasi partisipatif dan otonomi daerah.

Namun, perlu dicatat, Orde Baru berdiri di atas fondasi konstitusi yang dirumuskan generasi awal Republik. Selama tiga dekade, Soeharto menjalankan pemerintahan tanpa mengubah UUD 1945. Ia mempertahankan stabilitas dan kontinuitas sistem. Karena itu, bila Reformasi hadir sebagai koreksi, maka koreksi itu bersumber dari kesinambungan, bukan penolakan total terhadap masa lalu.

Reformasi: Antara Aspirasi dan Realisasi

Tuntutan reformasi yang mengemuka pada 1998 telah direspons dengan sejumlah langkah konkret. Beberapa di antaranya bahkan menjadi tonggak perubahan institusional terbesar dalam sejarah politik Indonesia modern:

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA
  1. Pemberantasan KKN dan Reformasi Hukum.
    Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU No. 30 Tahun 2002 menjadi bukti bahwa semangat antikorupsi diwujudkan secara kelembagaan. Namun, ironi muncul: praktik KKN justru dianggap lebih marak di berbagai sektor pada era reformasi dibanding era Orde Baru, ketika sistem pengendalian politik dan ekonomi masih lebih terpusat.
  2. Sistem Politik Inklusif dan Multi-Partai.
    Penghapusan batas tiga partai membuka ruang pluralitas dan representasi politik yang lebih luas. Demokrasi tumbuh lebih terbuka, tetapi sekaligus menimbulkan fragmentasi dan politik transaksional yang sering menjauh dari idealisme perjuangan rakyat.
  3. Pembatasan Masa Jabatan Presiden.
    Amandemen UUD 1945 yang menetapkan masa jabatan maksimal dua periode merupakan langkah penting memperkuat checks and balances dan mencegah dominasi kekuasaan eksekutif.
  4. Penghentian Dwifungsi ABRI.
    Pemisahan TNI dan Polri mempertegas profesionalisme militer. Reformasi ini menegakkan prinsip civil supremacy, sesuai teori sipil-militer klasik dari Huntington dan Janowitz.
  5. Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
    Melalui UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, daerah diberikan kewenangan fiskal dan kebijakan yang lebih luas. Desentralisasi menjadi tonggak demokrasi lokal dan peningkatan partisipasi publik.
BACA JUGA :  Perlawanan Balik Koruptor dan Mafia

Langkah-langkah ini membuktikan bahwa agenda reformasi tidak berhenti pada retorika, melainkan telah diimplementasikan dalam struktur pemerintahan dan hukum.

Soeharto dan Politik Simbolik Reformasi

Meski reformasi telah berjalan, figur Presiden Soeharto tetap menjadi “medan simbolik” dalam politik Indonesia. Kritik terhadap Soeharto kerap dijadikan alat pencitraan politik atau panggung moral untuk menunjukkan keberanian dan integritas. Dalam istilah masa kini: pansos politik.

Soeharto menjadi “scapegoat politik” kambing hitam bagi kegagalan reformasi birokrasi, lemahnya penegakan hukum, hingga krisis moral aparatur negara. Fenomena ini mencerminkan teori agenda-setting, di mana opini publik sengaja diarahkan agar fokus pada narasi simbolik ketimbang substansi kebijakan.

Ironinya, kritik terhadap Orde Baru sering menjadi tameng untuk menutupi kegagalan elite reformasi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efektif. Politik simbolik menggantikan reformasi substantif.

BACA JUGA :  Anies Bukan Budak Jokowi, Berpasangan dengan Kaesang Sesuatu yang Mengada-ada

Menyeimbangkan Sejarah dan Reformasi

Dalam konteks inilah, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto bukan sekadar penghormatan, melainkan upaya menyeimbangkan moralitas sejarah dan rasionalitas politik bangsa.

Pengakuan terhadap jasa pembangunan pada masa Orde Baru seperti proyek Trans-Sumatera, program irigasi nasional, stabilisasi harga pangan, dan ketahanan ekonomi dapat meredam politisasi sejarah. Langkah ini mengajak publik menilai masa lalu secara objektif: tidak membenarkan kesalahan, tetapi juga tidak menafikan kontribusi.

Dari perspektif teori legitimasi dan transitional justice, pengakuan semacam ini membantu bangsa berdamai dengan masa lalunya. Ia bukan glorifikasi, melainkan rekonsiliasi simbolik — agar energi bangsa tidak terus tersandera oleh trauma politik.

Mengembalikan Reformasi ke Relnya

Reformasi sejati tidak diukur dari siapa yang disalahkan, tetapi sejauh mana bangsa ini memperbaiki institusi dan menegakkan hukum. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dapat menjadi penutup bab simbolik dan pembuka bab substantif:

BACA JUGA :  Jakarta Guyub, Upaya BroNies Merangkai Kembali, Serpihan Kemerdekaan Indonesia yang Terserak
  • Kembali menajamkan pemberantasan korupsi,
  • Memperkuat reformasi hukum,
  • Mengembalikan fokus pada tata kelola pemerintahan, dan
  • Meneguhkan demokrasi yang partisipatif dan berkeadilan.

Sejarah dan reformasi tidak harus saling meniadakan. Mengakui jasa Soeharto bukan berarti menolak reformasi; justru memperkuatnya. Pengakuan yang jujur atas sejarah menjadikan bangsa ini lebih dewasa, tidak terjebak pada politik simbolik, tetapi fokus pada agenda kebangsaan yang nyata.

Dengan begitu, reformasi kembali ke relnya dari politik citra menuju politik kerja, dari simbol menuju substansi, dari sentimen menuju keseimbangan sejarah.

(rohmanfth@gmail.com) ***