Scroll untuk baca artikel
Head LineInfrastrukturTANGGAMUS

Proyek Jalan Provinsi di Tanggamus Habiskan Dana Puluhan Miliar, Warga Keluhkan Mutu Pekerjaan

×

Proyek Jalan Provinsi di Tanggamus Habiskan Dana Puluhan Miliar, Warga Keluhkan Mutu Pekerjaan

Sebarkan artikel ini
Kondisi jalan di Desa Tanjung Jati, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus, Lampung, kondisinya memprihatinkan, proyek itu dibangun oleh BMBK Provinsi Lampung - foto doc SMN

TANGGAMUS — Di atas kertas, proyek pembangunan jalan provinsi penghubung Pekon Umbar – Putih Doh di Kecamatan Cukuh Balak tampak seperti buah keberhasilan pembangunan daerah, lebar jalan 5,5 meter, konstruksi rigid beton FS 38, dan nilai proyek konon katanya cukup fantastis hingga puluhan miliar.

Namun di lapangan, yang tersisa kini adalah rigid road yang cepat “lelah”, rigid warga yang kehilangan sabar, dan rigid janji yang tak sepenuhnya ditepati.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Proyek yang dikerjakan pada akhir 2024 itu merupakan bagian dari program Inpres Jalan Daerah (IJD). Dalam dokumen perencanaan, proyek ini diproyeksikan menuntaskan 3,5 kilometer jalan strategis lintas pekon.

Targetnya sederhana memperlancar konektivitas, mempermudah ekonomi rakyat, dan seperti sering disebut dalam rapat-rapat mendorong pemerataan pembangunan dari pinggiran.

Sayangnya, setelah beberapa bulan diresmikan, yang merata justru retakannya, bukan manfaatnya.

Warga Tanjung Jati, yang dulu menyambut proyek ini dengan doa dan semangat gotong royong, kini mulai kehilangan kepercayaan. Mereka tidak hanya mencium aroma semen, tapi juga aroma ketidaktepatan.

“Lihat aja tuh, ngelotok semua. Tambalannya cuma disiram semen kayak nyiram tanaman,” ujar seorang warga sambil menunjuk bagian jalan yang retak halus seperti kulit tua, pada 29 Oktober 2025.

Sejak awal, warga sudah memberi sinyal bahaya. Pasir yang digunakan dari Sungai Way Badak, Pekon Tanjung Raja, disebut terlalu banyak campuran tanah.

Tapi seperti banyak cerita pembangunan di negeri ini, suara warga sering berakhir seperti adukan semen, mengeras tapi tak terdengar.

“Sudah kami bilang jangan pakai pasir itu, nanti rigitnya cepat rusak. Tapi ditegur juga nggak direspons. Sekarang lihat sendiri,” tambah warga lain, yang kini setiap lewat jalan itu memilih menurunkan kecepatan bukan karena hati-hati, tapi karena takut terperosok ke lubang kebijakan.

Proyek ini, menurut dokumen yang dihimpun, melibatkan PPK bernama Andi, kontraktor pelaksana Rifki, CV milik Angga, dan kontraktor utama Oki Irawan.

Tiga konsultan pengawas disebut semuanya perempuan sebuah fakta yang disebut warga “unik”, walau bukan itu yang jadi masalah.

Warga bahkan sempat mendatangi pihak kepolisian untuk menuntut pembongkaran ruas yang dianggap tidak sesuai spesifikasi.

“Dulu kami minta bongkar 200 meter, tapi yang direalisasi cuma sekitar 100 sampai 150 meter. Sisanya dibiarkan begitu saja, kayak janji yang digantung,” ungkap salah satu tokoh masyarakat.

Dari Kantor Pemerintah Semua Sudah PHO, Semua Sudah Beres

Di sisi lain, pemerintah provinsi menyatakan proyek ini telah selesai dan sah secara administrasi.

Saswito Wibowo, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Lampung, menegaskan proyek sepanjang 3,75 kilometer itu sudah diserahterimakan atau PHO (Provisional Hand Over) pada 21 Agustus 2025.

“Sekarang jalannya sudah jauh lebih baik. Dulu kendaraan sering mogok di tengah jalan, sekarang sudah lancar,” ujar Saswito, optimis.

Memang, dari segi tampilan makro, jalan itu kini mulus secara visual. Tapi di bawah permukaan, cerita lain bergejolak. Karena yang mulus di mata pejabat, belum tentu mulus di tapak kaki rakyat.

Warga Tanjung Jati tidak menolak pembangunan. Mereka tahu arti konektivitas, mereka paham pentingnya infrastruktur. Tapi mereka juga tahu jalan bukan cuma urusan cor dan semen, tapi tentang kepercayaan.

Ketika proyek bernilai puluhan miliar hanya bertahan beberapa bulan sebelum mulai mengelupas, yang terkikis bukan hanya lapisan beton melainkan juga lapisan keyakinan publik.

Di sinilah paradoks pembangunan itu hidup di negeri yang kaya niat tapi miskin pengawasan, di mana proyek selesai tepat waktu tapi tidak tepat mutu.

Dan rakyat? Seperti biasa, mereka hanya berharap semoga tahun depan, yang retak bukan lagi jalan tapi pola lama yang menganggap rakyat hanya penonton di proyek yang dibangun atas nama mereka.***